Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panitia seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi sebaiknya tidak meloloskan calon dari kepolisian. Jika panitia seleksi bersungguh-sungguh hendak membuat lembaga antirasuah ini bekerja dengan baik, mereka semestinya menomorsatukan calon independen. "Unsur" kepolisian dalam jajaran pemimpin komisi antikorupsi memiliki potensi konflik kepentingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga belas dari 192 calon pemimpin KPK yang dinyatakan lolos seleksi administratif pada pekan lalu berasal dari kepolisian. Calon-calon itu masih akan mengikuti uji kompetensi pada 18 Juli mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang tidak ada aturan yang melarang calon dari kepolisian ikut seleksi pemimpin KPK. Tak ada juga keharusan menempatkan perwakilan kepolisian dalam pemimpin KPK. Pasal 29 Undang-Undang KPK mengatur bahwa syarat untuk menjadi calon pemimpin KPK di antaranya tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral tinggi, dan memiliki reputasi baik. Sederet persyaratan ini dimaksudkan agar KPK mendapatkan pemimpin yang kuat dan independen.
Unsur pemimpin KPK yang disebutkan sebagai wakil dari kepolisian umumnya bermasalah ketika dihadapkan pada kasus di institusinya. Sang pemimpin bisa terjebak loyalitas ganda, seperti yang terjadi pada sebagian personel kepolisian di level penyidik KPK.
Peluang KPK menyelidiki kasus korupsi di kepolisian tidak kecil. Kepolisian beserta kejaksaan, menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun lalu, merupakan lembaga dengan potensi terbesar untuk melakukan pungutan liar dalam layanan birokrasinya. Pengalaman di negara yang berhasil dalam pemberantasan korupsi, komisi antikorupsi juga membersihkan lebih dulu lembaga kepolisian.
Patut diingat bahwa KPK dibentuk karena lembaga-lembaga penegakan hukum yang sudah ada gagal menjalankan pemberantasan korupsi. Karena itu, dengan menolak kandidat dari kepolisian, panitia seleksi ikut mendukung perbaikan program pemberantasan korupsi oleh kepolisian. Bagaimanapun, jika kandidat dari kepolisian adalah putra terbaik lembaga itu, akan lebih berguna jika mereka ditugaskan menjadi pengurus di rumahnya sendiri. Sebab, kepolisian juga memiliki direktorat tindak pidana korupsi. Adapun dengan KPK, kepolisian bisa melalui fungsi koordinasi.
Sementara itu, bagi KPK, pemimpin yang independen merupakan keharusan. Ini akan menjadi jaminan penegakan hukum oleh lembaga antirasuah itu tidak tebang pilih. Sebab, saat ini korupsi di dalam tubuh pemerintahan masih berlangsung masif. Bahkan, menurut ICW, nilai kerugian karena praktik ini cenderung meningkat. Berdasarkan data putusan kasus korupsi di pengadilan yang dihitung oleh ICW, pada tahun lalu kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 9,29 triliun, naik sekitar 30 persen dari 2017 dan sekitar enam kali lipat kerugian akibat korupsi pada 2015.
Untuk mendapatkan pemimpin KPK dengan kualifikasi seperti itu, panitia seleksi harus melihat rekam jejak kandidat secara menyeluruh. Kandidat yang pernah tersandung persoalan hukum dan kode etik pada masa lalu harus langsung dicoret. Bisa pula dengan melihat gelagat. Misalnya dari pelaporan harta kekayaannya untuk calon dengan latar belakang penyelenggara negara, yang bisa menjadi indikator mengetahui integritas mereka.