Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Korupsi dan Investasi

Berbagai media massa memberitakan bahwa pihak Istana menilai kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menghambat upaya menarik investasi.

30 September 2019 | 07.05 WIB

Penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang hasil OTT terkait kuota impor ikan, di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 24 September 2019. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti uang hasil OTT terkait kuota impor ikan, di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 24 September 2019. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Esther Sri Astuti
Direktur Program INDEF

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Berbagai media massa memberitakan bahwa pihak Istana menilai kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menghambat upaya menarik investasi. Hal ini menjadi dasar pemerintah untuk tidak menunda pengesahan revisi Undang-Undang KPK. Dewan Perwakilan Rakyat pun sepakat dengan revisi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Undang-Undang KPK, lembaga antirasuah itu mempunyai tugas dan fungsi melakukan pemberantasan korupsi, baik dari koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan, maupun pencegahan tindak pidana korupsi, serta memantau penyelenggaraan pemerintahan negara. Argumen bahwa kehadiran KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi akan menghambat investasi tidaklah tepat. Sebab, KPK, dalam melaksanakan tugasnya, berpedoman pada lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK juga bertanggung jawab kepada publik serta menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sehingga eksistensi KPK diharapkan bisa mengurangi tingkat korupsi di Indonesia.

Menurut Bank Dunia (2005), korupsi didefinisikan sebagai tindakan penyalahgunaan, baik di lembaga publik maupun swasta, untuk keuntungan pribadi. Ada dua alasan utama korupsi harus diberantas. Pertama, korupsi menghambat performa ekonomi (economic performance) karena tata kelola kelembagaan yang lemah cenderung mendorong terjadinya korupsi serta menghambat perbaikan performa ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi (Quazi, 2014; Stone dkk, 1996; Mauro, 1995; Keefeer dan Knack, 1995).

Bila kita cermati lima negara (Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia) yang dinyatakan Transparency International memiliki tingkat korupsi rendah, negara-negara tersebut memiliki performa ekonomi yang prima, baik dari produk domestik bruto (PDB), produktivitas tenaga kerja, maupun ketimpangan ekonomi. Pada 2018, misalnya, indeks persepsi korupsi (IPK) Denmark sebesar 88 atau negara paling bersih dari korupsi di sektor publik. Kala itu, Denmark merupakan negara yang mempunyai kapasitas perekonomian yang baik dengan PDB US$ 350.874 miliar, pendapatan per kapita US$ 60.692, inflasi 0,7 persen, dan ketimpangan ekonominya relatif lebih rendah (27,9) dibanding negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Kedua, korupsi, ketidaktransparanan, dan ketidakstabilan kebijakan ekonomi, serta lembaga pemerintah yang tidak efisien akan meningkatkan risiko dan ketidakpastian lingkungan bisnis sehingga mengurangi aliran modal asing yang masuk karena korupsi di lembaga pemerintah akan mendistorsi investasi publik (Drabek dan Payne, 2001; Tanzi dan Davoodi, 1997).

Korupsi yang merajalela akan memperburuk integritas lembaga pemerintah dan meningkatkan keengganan investor asing menanamkan modalnya ke suatu negara. Biasanya, investor asing akan menghindari negara yang tingkat korupsinya tinggi (Habib dan Zurawicki, 2002).

Studi empiris di lima negara ASEAN (Malaysia, Thailand, Singapura, Indonesia, dan Vietnam) menunjukkan bahwa pemerintah seharusnya memperbaiki integritas dan kredibilitas, baik dalam proses administrasi maupun transaksi, agar dapat menarik investasi asing langsung (FDI) yang lebih besar sehingga pertumbuhan ekonominya berkelanjutan (Karim dkk, 2018; Azam dan Ahmad, 2013).

Perbaikan skor IPK akan mendorong investasi asing yang masuk lebih besar. Di Asia, Singapura diklasifikasikan sebagai negara terbersih ke-4 di dunia dengan IPK 85 (Transparency International, 2018). The Heritage Foundation menyatakan bahwa Singapura mempunyai Indeks Kebebasan Ekonomi terbaik kedua di dunia setelah Hong Kong dengan skor secara umum sebesar 89,4. Sebab, Singapura memberikan jaminan kepastian hukum baik dalam hak kepemilikan, integritas pemerintah, maupun efektivitas yudisial. Regulasi pun dibuat sangat efisien di bidang bisnis, tenaga kerja, dan moneter. Investor menjadi nyaman sehingga tidak mengherankan bila aliran modal asing ke Singapura juga relatif besar. Data Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menyebutkan bahwa Singapura memiliki aliran modal asing terbesar ke-5 di dunia, yaitu US$ 77,6 miliar. Singapura juga termasuk negara top 10 investor economies dengan nilai penanaman modal sebesar US$ 312 miliar.

Indonesia memang masih jauh tertinggal. Singapura merupakan negara dengan tingkat korupsi terendah ke-4 di dunia, sedangkan Indonesia berada di urutan ke-89. Jumlah aliran modal Indonesia pun sepertiga dari aliran modal Singapura, yaitu US$ 22 miliar. Namun, jika pemberantasan korupsi lebih giat dilaksanakan, kepastian hukum diberikan, serta regulasinya efisien dan kondusif untuk berbisnis, Indonesia pun akan bisa meningkatkan performa ekonominya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus