Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN Ismunandar, Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat korupsi. Ismunandar merupakan kepala daerah ke-121 yang terlibat kasus korupsi sejak Komisi Pemberantasan Korupsi berdiri pada 2004. Saat ditangkap, ia diduga menerima suap Rp 2,1 miliar.
Penangkapan Ismunandar dan istrinya, Encek Unguria Riarinda Firgasih, memperlihatkan sisi buruk politik dinasti. Encek merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur. Keduanya diduga menerima suap dengan modus mengatur jatah proyek. Ismunandar berperan menjamin anggaran proyek tidak dipotong. Sedangkan Encek diduga mengintervensi penunjukan pemenang lelang proyek.
Sulit membayangkan bagaimana Encek menjalankan fungsi kontrol terhadap pemimpin eksekutif di tingkat kabupaten yang tak lain adalah suaminya sendiri. Akibat politik dinasti, hubungan transaksional antara pemerintah daerah dan DPRD menjadi lebih mudah dilakukan. Tanpa hubungan kekerabatan saja, banyak kepala daerah main mata dengan DPRD dalam praktik buruk korupsi, seperti dalam proses penganggaran dan pelaksanaan proyek pemerintah.
Dugaan suap Ismunandar dan Encek juga disinyalir berkaitan dengan mahar politik. Ismunandar, bupati inkumben periode 2015-2020, akan berlaga dalam pemilihan kepala daerah Kutai Timur pada 9 Desember mendatang. Pada saat ini, para bakal calon kepala daerah, termasuk Ismunandar, sedang mencari rekomendasi partai agar bisa mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah pada 4-6 September mendatang.
Ismunandar diduga memungut uang dari rekanan penggarap proyek pemerintah untuk keperluan mahar politik agar bisa menjadi bupati untuk periode kedua. Ismunandar adalah kader Partai NasDem, pemilik lima kursi dari total 40 kursi DPRD Kutai Timur. Untuk mendapatkan tiket sebagai calon kepala daerah, ia harus didukung minimal delapan kursi DPRD. Ada dugaan Ismunandar berusaha mendapatkan tiket dari partai di luar NasDem.
Mahar politik menciptakan politik biaya tinggi. Partai yang gagal menciptakan kader berkualitas mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan dinasti politik dan nepotisme. Biaya politik yang tinggi memicu korupsi. Ongkos politik menjadi makin besar jika calon kepala daerah menyuap pemilih.
Penangkapan Ismunandar dan Encek ini mengingatkan kita pada politik dinasti Syaukani Hasan Rais dengan anaknya, Rita Widyasari, di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Politik dinasti serupa terjadi pada Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaery Wardhana alias Wawan, di Banten. Ikatan kekerabatan melicinkan jalan korupsi mereka.
Konstitusi memang menjamin setiap warga negara memiliki hak politik yang sama tanpa membedakan asal-usul. Artinya, secara hukum, tak ada yang salah dengan politik dinasti. Tapi praktik ini akan dengan gampang membuat kepala daerah terpeleset ke dalam kubangan korupsi dan kesewenang-wenangan. Sejauh ini, politik dinasti jauh lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat. *
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini