Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Korupsi Dana Otonomi Khusus Aceh

Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam kasus dugaan korupsi Dana Otonomi Khusus Aceh.

13 Juli 2018 | 07.39 WIB

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bergurau dengan awak media dengan menutup wajah setelah menjalani pemeriksaan perdana di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat, 6 Juli 2018. Irwandi diperiksa sebagai tersangka tindak pidana korupsi realisasi komitmen pemberian <i>fee</i> terkait dengan pengalokasian dan penyaluran dana otonomi khusus Aceh. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bergurau dengan awak media dengan menutup wajah setelah menjalani pemeriksaan perdana di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat, 6 Juli 2018. Irwandi diperiksa sebagai tersangka tindak pidana korupsi realisasi komitmen pemberian <i>fee</i> terkait dengan pengalokasian dan penyaluran dana otonomi khusus Aceh. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Said Zainal Abidin
Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik STIA LAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam kasus dugaan korupsi Dana Otonomi Khusus Aceh. Sebagai gubernur dari sebuah daerah yang menerapkan syariat Islam, tindakan korupsi ini dipandang rakyat sebagai pencurian yang pantas dihukum dengan hukuman potong tangan. Namun qanun soal korupsi belum diundangkan di provinsi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Korupsi ini merupakan perulangan dari yang pernah dilakukan gubernur terdahulu, Abdullah Puteh. Hal ini membuat pihak-pihak yang kurang sepakat dengan sistem otonomi khusus cenderung menarik garis hubungan dengan sistem tersebut.

Perlu dipertegas bahwa korupsi bukan terjadi karena adanya sistem otonomi khusus, melainkan karena ada iktikad dan kesempatan untuk korupsi. Korupsi secara berulang tidak hanya terjadi di Aceh, tapi juga di Sumatera Utara, Jambi, dan Riau-daerah-daerah yang tidak menerapkan sistem otonomi khusus.

Sistem otonomi khusus yang disandang Provinsi Aceh merupakan hasil kajian yang panjang yang sudah dibahas pada masa lampau. Sistem ini berasal dari pemikiran yang digagas oleh Presiden Habibie serta Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Hartarto pada masa awal reformasi. Landasannya terletak pada tiga pertimbangan.

Pertama, Aceh adalah daerah yang relatif tertinggal dibandingkan dengan kondisi rata-rata daerah di Indonesia. Keadaan itu sebagai akibat tidak adanya masa aman lebih dari sepuluh tahun secara berkelanjutan selama lebih dari seratus tahun sejak Belanda mulai menyerang Aceh pada 1873. Setiap kali ada masa teduh, segera diikuti masa tidak aman kembali. Akibatnya, Aceh tidak memiliki kesempatan untuk membangun. Karena itu, Aceh tertinggal dalam banyak bidang dibandingkan dengan daerah lain.

Kedua, menurut teori pembangunan daerah, pembangunan suatu daerah perlu didekati dengan pendekatan spasial, yaitu pendekatan yang melihat setiap daerah berbeda satu sama lain dalam ruang dan waktu. Yogyakarta masa lampau berbeda dengan Jakarta tempo dulu. Begitu juga Jakarta sekarang berbeda dengan Yogyakarta masa kini. Yogyakarta atau Jakarta "zaman now" berbeda dengan Jakarta atau Yogyakarta masa lampau. Berdasarkan pendekatan ini, sistem otonomi khusus adalah sebuah keniscayaan. Kalau semua daerah itu sudah diperlakukan secara khusus, sistem otonomi (khusus) menjadi umum dan yang umum menjadi khusus. Singkatnya, semua daerah harus diperlakukan secara khusus karena setiap daerah berbeda dengan daerah lain.

Ketiga, bagaimana melakukan pembangunan dengan sistem otonomi khusus itu? Pembangunan secara khusus tak sekadar menetapkan sejumlah dana besar yang dilimpahkan kepada suatu daerah untuk dikelola sesukanya sendiri. Sistem pembangunannya dengan melakukan inventarisasi aspek-aspek apa saja yang dirasa ketinggalan dan perlu dibangun segera secara khusus berdasarkan kondisi ketinggalan dari daerah lain. Pembangunan dalam waktu tertentu dilakukan untuk mengejar ketinggalan tertentu yang harus dilakukan sebagai proyek khusus. Kalau terjadi korupsi dalam proyek itu, itu baru dapat disebut sebagai korupsi dana otonomi khusus.

Korupsi atau suap-menyuap dan operasi tangkap tangan sudah merupakan hal yang jamak di berbagai daerah. Koruptor pada umumnya tidak melihat dari sumber apa dana itu berasal. Yang penting bagi mereka adalah adanya obyek yang dapat dikorup. Kucing pemakan tikus tidak pernah membedakan apakah tikus itu berasal dari sawah atau dari kebun, yang penting adalah tikus.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus