Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Korupsi di masa pandemi datang silih berganti.
Dana PEN telah menjadi bancakan pejabat pusat dan daerah serta pengusaha hitam.
Bila sistem penganggaran yang ruwet tetap dipertahankan, patgulipat akan terus-menerus terjadi.
MESKI sudah berkali-kali terbongkar, korupsi di masa pagebluk datang silih berganti, malah kian menjadi. Perkara dugaan suap dalam penyaluran pinjaman program pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, adalah salah satu buktinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi mencegah bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Mochamad Ardian Noervianto, bepergian ke luar negeri, akhir tahun lalu. Ia ditengarai menerima uang pelicin dari Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur sebagai imbal jasa memuluskan pencairan pengajuan pinjaman dana PEN untuk kabupaten tersebut. Aji mumpung itu sungguh tidak patut dan bisa memicu dampak wabah kian parah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal pencairan pinjaman dana tersebut sejatinya untuk membantu pelaksanaan proyek sekaligus menciptakan lapangan kerja. Sebagai bagian dari dana penanganan pandemi Covid-19, bantuan itu untuk mendorong pembelian bahan baku lokal sehingga bisa mengerek perekonomian masyarakat sekitar. Syaratnya: daerah yang mengajukan pinjaman harus memiliki rasio kemampuan fiskal untuk mengembalikan dana paling sedikit 2,5 kali dari nilai pinjaman. Di sinilah Ardian ditengarai memperdagangkan kewenangan saat menilai kapasitas daerah dalam menerima pinjaman.
Akar masalah dari penyelewengan ini adalah amburadulnya tata kelola anggaran dalam penanggulangan wabah virus corona. Sejak awal, pemerintah kurang mengedepankan prinsip kehati-hatian. Meski mendapat status wajar tanpa pengecualian, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan aneka bantuan itu menyandang banyak kelemahan. Padahal, sedarurat apa pun kondisi wabah, pemerintah tidak boleh mengabaikan akuntabilitas dalam penyaluran bantuan.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 turut mengundang moral hazard. Klausul yang menyebutkan pejabat yang berkaitan dengan pelaksanaan penanganan pandemi tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana menjadi tameng bagi para penanggung jawab anggaran dan pelaku bisnis mengambil jalan pintas. Dengan berlindung di balik ketentuan itu, mereka tidak takut menggangsir uang rakyat. Kini terbukti dana PEN telah menjadi ladang korupsi.
Situasi ini diperparah oleh buruknya sistem penganggaran. Birokrasi yang terlalu panjang dan berbelit-belit dalam penyusunan ataupun pencairan anggaran menjadi pintu masuk bagi penumpang gelap dalam menilap uang negara. Salah satu episentrum korupsi itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Para wakil rakyat yang seharusnya mengontrol pengelolaan anggaran justru menjadikan setiap mata anggaran sebagai ladang mengail cuan.
Perkara rasuah yang tengah menjerat bekas Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, merupakan contoh konkret bagaimana kolusi dan korupsi berkelindan dalam pengajuan dana alokasi khusus di Kabupaten Lampung Tengah. Ironisnya, korupsi dengan modus ini berulang kali terjadi dan tidak mendapat perhatian serius oleh pemerintah.
Semestinya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bisa menutup lubang kebocoran dana PEN dengan memangkas mata rantai penyusunan anggaran. Bila sistem yang ruwet ini tetap dipertahankan, patgulipat anggaran akan terus menjadi ladang penjarahan para oknum pejabat pusat dan daerah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo