Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Indikasi keterlibatan Partai Golkar dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 kian jelas. Pengakuan blakblakan politikus Golkar yang juga mantan Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eni Maulani Saragih, menegaskan keterlibatan partai berlambang beringin ini dalam skandal korupsi itu. Komisi Pemberantasan Korupsi tak boleh ragu memproses hukum partai ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Eni ditangkap KPK pada pertengahan Juli lalu karena diduga menerima Rp 500 juta dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo. Ketika diperiksa penyidik, Eni "bernyanyi" dan menyebutkan peran Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto; Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Melchias Markus Mekeng; dan bekas Ketua Umum Golkar, Setya Novanto. Eni mengaku duit yang dia terima merupakan bagian dari commitment fee untuk partainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kesaksian Eni juga mengungkap pertemuan berkali-kali para petinggi Partai Golkar dengan Johannes Kotjo untuk membahas pembagian duit dari proyek PLTU Riau-1. Peran aktif Eni disebut-sebut bermula dari instruksi Setya Novanto-ketika masih menjabat Ketua Umum Golkar.
Pengakuan Eni itu merupakan pintu masuk untuk mengungkap dugaan korupsi yang terstruktur di tubuh Partai Golkar. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi menyebutkan bahwa definisi korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berbadan hukum maupun tidak. Dengan demikian, Golkar bisa menjadi tersangka korporasi dalam tindak pidana ini.
Sedikitnya ada dua hal yang memberatkan Partai Golkar dalam kasus ini. Pertama, Golkar ikut menikmati duit suap dari Johannes Kotjo. KPK kabarnya telah menemukan aliran fulus sekitar Rp 700 juta dari Kotjo ke rekening panitia penyelenggara Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar pada 2017. Kedua, Golkar terkesan membiarkan tindak pidana korupsi di lembaganya. Adanya pembiaran semacam itu merupakan salah satu faktor penentu untuk memutuskan status tersangka korporasi.
Penetapan Golkar sebagai tersangka bisa menjadi momentum untuk "membersihkan" demokrasi kita dari praktik-praktik kotor dan tak terpuji. Selama ini publik sudah bosan mendengar berbagai kisah korupsi seputar politik kita. Dari soal calon kepala daerah yang harus menyogok partai politik agar mendapat tiket pencalonan sampai cerita pengusaha yang harus setor ke anggota DPR agar mendapat proyek. Sudah saatnya semua perilaku korup itu dibersihkan sampai tuntas.
Sebagai pilar demokrasi, partai politik seharusnya menjadi teladan dalam gerakan pemberantasan korupsi. Jika para politikus tidak lagi korup, dengan sendirinya parlemen pun tak akan lagi mendapat label buruk sebagai sarang koruptor. Kepercayaan publik pun bakal berangsur membaik dan partisipasi politik warga negara meningkat. KPK tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.