Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kota

Air bah yang menyeret dan mengempaskan mobil, sepeda motor, perabot, menghajar tembok rumah, merusak saluran listrik, membunuh manusia.... Bukan, ini bukan bencana dalam skala tsunami, tapi untuk kesekian kalinya hujan, sungai, dan laut merisaukan Jakarta. Kota ini rapuh.

13 Januari 2020 | 13.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Air bah yang menyeret dan mengempaskan mobil, sepeda motor, perabot, menghajar tembok rumah, merusak saluran listrik, membunuh manusia.... Bukan, ini bukan bencana dalam skala tsunami, tapi untuk kesekian kalinya hujan, sungai, dan laut merisaukan Jakarta. Kota ini rapuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita tak tahu bagaimana ia mendapatkan bentuk. Konon sejarahnya dimulai orang-orang Belanda yang membuat benteng dan barikade sosial di abad ke-16. Kemudian, sejak 1945, Republik menjadikannya sebuah ibu kota, dan penghuni pun berjejal-jejal. Migrasi dari pedalaman bergelombang. Kota ini tak ditandai tembok pembatas; ia bukan "tuin", kota di Nederland yang dalam bahasa Belanda lama berarti "pagar".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada yang meniatkan itu. Jakarta tak dibangun seperti Paris didesain Haussmann di pertengahan abad ke-19: kota yang direkonstruksi secara menyeluruh, konsisten, dan mahal. Dalam pertumbuhannya, Jakarta adalah hasil kuasi-planologi, kombinasi yang hilang bentuk, antara rancangan dan tanpa rancangan.

Tapi, bagaimanapun, ini ruang dengan wilayah yang tertentu, jalan dan gang yang tercatat (meskipun dengan nomor yang kacau), rumah tinggal, kantor dagang, dan bangunan pemerintah. Di wilayah ini triliunan uang berputar lancar dan kekuasaan direntangkan.

Terkadang, seperti umumnya metropolis di mana pun,dalam bentangan megah itu Jakarta menampilkan citra kemenangan manusia atas alam; ia membuat laut, danau, dan sungai jadi ornamen. Ia juga tempat yang gemerlap dan menyilaukan. Jacques Ellul pernah mengecam kota sebagai ekspresi keangkuhan, "tempat kembang api", un lieu d’artifice, "di mana alam ditaklukkan". Kini tentu saja tak ada kembang api dan air malah yang datang menaklukkan.

Tapi kita tahu, juga Ellul dan para cendekiawan antikota lainnya tahu, tak semua kita hendak kembali ke masa yang sepenuhnya alam, yang sering digambarkan ki dalang dengan "ijo royo-royo". Itu memang sering jadi cita-cita perubahan sosial. Tapi ternyata manusia melanjutkan pembangkangan Kain. Menurut Ellul, putra Adam ini menolak niat Tuhan melindunginya. Alkitab mengisahkan iadiusir dari Firdaus dan dititahkan Tuhan mengembara. Tapi ia tak patuh. Ia membangun sebuah kota.

Saya kira Kain tak pantas disesali; ia menyatakan kebebasan, sebagaimana kota, betapapun sumpeknya, mengandung celah kemerdekaan. Dalam "Kecapi", satu dari Cerita dari Jakarta Pramoedya Ananta Toer, tokohnya menyebut Jakarta "daerah pelarian": di sana orang yang terjepit seperti pemain kecapi dari dusun itu melepaskan diri.

Saya kira kota-apalagi yang didirikan tanpa ambisi besar seorang Haussmann-bukan isyarat keangkuhan.

Pseudo-planologi di Jakarta itu sebuah cacat, tapi juga tanda keterbatasan: selamanya ada yang tak pas antara kota sebagai ruang yang dibangun dan kota sebagai ruang yang didiami, ada gap antara "membuat" dan "menghuni".

Ada sebuah dikotomi yang digambarkan secara menarik oleh Richard Sennett dalam Building and Dwelling: Ethics for the City.

Kota bisa berarti ville dan juga bisa cité. Ville kurang-lebih mengacu ke kota sebagai keseluruhan, dengan wilayah, struktur, dan sistemnya. Cité lebih merupakan lingkungan yang dicerminkan sebuah "kesadaran": ada sebuah sikap dan perilaku. Keliru bila kita berasumsi cité dan ville akan saling menopang. "Pengalaman dalam sebuah kota," tulis Sennett, "sebagaimana di kamar tidur atau di medan perang, jarang mulus; jauh lebih sering penuh dengan kontradiksi dan gesekan tajam."
Pernah, menurut Sennett, pembangun kota di abad ke-19 mencoba mengaitkan "yang didiami" dengan "yang dibangun". Tapi kaitan itu rapuh. Di abad ke-20, cité dan ville bergerak terpisah. Ada dualisme, bahkan kontradiksi, seperti dalam gambaran puitis Rendra tentang New York:
New York mengangkang
Keras dan angkuh
Semen dan baja
Dingin dan teguh.
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
Terdengar musik gelisah
Yang tentu saja
Tak berarti apa-apa

New York: bangunan yang tegak ke langit itu tak menyentuh musik seorang Rick yang resah mencari kekasihnya, Betsy yang tak berkabar, orang-orang hitam yang menari di jalan, riuh rendah yang membentuk sebuah kota besar.

Dan kita pun menghadapi persoalan ethis: haruskah kota berdiri mewakili pandangan kaum Rick, Betsy, dan penari jalanan? Atau sebaliknya mengekspresikan perspektif pakar, perencana, pengembang-dan kota harus mengubah perilaku yang riuh dalam cité?

Politikus, pejabat, developer, konsultan, aktivis perkotaan-betapapun pandai dan luhur budi mereka-tak bisa memaksakan, dengan halus ataupun kasar, nilai-nilai yang bukan bagian hidup sebuah komunitas kota. Apa hak mereka mengganti yang dianggap baik dan benar oleh Rick dan Betsy? Dan mungkinkah?

Tapi kenapa mesti tidak. Mungkin Rick dan Betsy menghendaki kota yang tertutup, memusuhi "orang luar", atau tak peduli akan kegentingan lingkungan hidup....

Di hadapan dilema, Sennett menganjurkan sikap rendah hati dan terbuka-tanpa menjadi pelayan yang mengikut saja "mentalitas" di sebuah komunitas.

Tapi ada persoalan ethis lain: di mana-mana, kata Sennett, kota yang perlu berubah harus memilih accretion atau rupture, perubahan sedikit demi sedikit atau perubahan besar yang putus hubungan dengan yang sebelumnya, juga dengan cité yang selama ini membuat penghuni betah.

Ini soal pelik, ketika perubahan harus dilakukan di kota yang rusak, akibat badai besar: haruskah tanggul didirikan, atau biarkan air mengikuti arusnya dan sebagian kota dipindahkan.

Bisa kita katakan seyogianya kita ikuti irama alam. Kita jangan terus-menerus menjadikan kota, dalam kata-kata Ellul, sebuah ruang tempat "alam ditaklukkan". Kita perlu memilih accretion.Tapi sekaligus kita harus ingat: dalam pertumbuhan yang pelan itu yang tak sabar bukan cuma perancang dan pengembang; si miskin kota juga menjerit.

Bahkan di sana, kata Sennett, kita mungkin bisa menganggap rupture, perubahan radikal, sebagai penggerak keadilan.

Tak gampang, memang. Terutama ketika waktu mendesak dan perubahan iklim kian mengancam, dan kota dilanda ketidakpastian, seperti setelah New York dilumpuhkan Hurricane Sandy pada 2012.

Atau mungkin kita pasrah saja, dan melihat dosa Kain termaktub dalam kota yang celaka?

Goenawan Mohamad

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus