Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Fahrul Muzaqqi
Dosen Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Wacana amendemen kelima Undang-Undang Dasar 1945 muncul kembali. Walaupun mulanya sayup-sayup, dengan didahului pertimbangan perlunya penguatan kembali arah pembangunan melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dalam perkembangannya wacana itu menguat pada mendesaknya amendemen UUD 1945. Sebagian elite melunakkan wacana tersebut dengan istilah "perubahan terbatas".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Terlepas dari kekaburan istilah "terbatas" itu, dalam situasi ketika indikasi dekonsolidasi demokrasi maupun delegitimasi lembaga-lembaga negara yang menguat belakangan, wacana amendemen kelima seolah-olah membuka kotak pandora yang berisi gambaran kecemasan, alih-alih harapan. Bisa dipahami apabila publik bertanya-tanya mau dibawa ke mana negeri ini.
Terlepas dari sejauh mana rencana amendemen itu, ada beberapa hal yang perlu dipertahankan dari hal-hal yang telah dicapai sejak reformasi.
Pertama, kedaulatan rakyat di bawah supremasi hukum. Konsep kedaulatan rakyat, sebagaimana dinyatakan dalam amendemen ketiga UUD 1945, hendaknya tidak dikembalikan lagi kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti sebelum amendemen. Artinya, trias politika sebagai mandataris kedaulatan rakyat tetap dipertahankan dalam posisi setara. Tidak ada lembaga tertinggi negara, tapi semuanya sebagai lembaga tinggi yang menerapkan prinsip saling mengontrol (checks and balances). Pun konsep kedaulatan ini dioperasionalkan secara vertikal dengan senantiasa menyeimbangkan entitas wakil (baik eksekutif maupun legislatif) dengan entitas terwakil (rakyat) melalui prosedur permusyawaratan dan perwakilan.
Kedua, tetap menguatkan sistem pemerintahan presidensial. Ketiadaan lembaga tertinggi negara tersebut sekaligus merupakan fondasi bagi presidensialisme. Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR karena dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh MPR seperti pra-amendemen. Maka, wacana menghidupkan kembali GBHN hendaknya tetap dalam koridor presidensialisme.
Di dalam skenario lama, GBHN dipandang sebagai dokumen sakral di bawah otoritas MPR sebagai kekuasaan tertinggi negara jelmaan seluruh rakyat (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Sebagai mandataris MPR (untergeordnet), presiden harus menjalankan GBHN dan putusan-putusan Majelis. Apabila presiden dianggap melanggar haluan negara, MPR bisa meminta pertanggungjawaban presiden. Dalam taraf lebih jauh, peluang pemakzulan presiden sangat terbuka secara politik.
Sementara itu, salah satu skenario alternatif untuk menjawab kebutuhan akan haluan negara yang memungkinkan saat ini adalah menguatkan intensitas komunikasi di antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam merumuskan rencana pembangunan lima tahunan. Konkretnya dapat berupa monitoring dan evaluasi satu tahunan. Namun dalam skenario ini harus dipertahankan bahwa MPR tidak dapat memakzulkan presiden tanpa proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Sebaliknya, presiden juga tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 7C).
Ketiga, penguatan bikameralisme DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di parlemen. Hal ini mengingat fungsi DPD di parlemen masih sebatas pemberi masukan bagi DPR. Padahal DPD seharusnya berperan lebih efektif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat karena proses kandidasinya tidak melalui partai politik. Ketika saluran aspirasi melalui DPR tersumbat karena batasan kebijakan partai, DPD dapat menjadi saluran alternatif untuk memecah kebuntuan. Walhasil, penguatan peran dan fungsi DPD sangat penting, tidak hanya sebagai pembahas dan pemberi masukan atau pertimbangan, tapi juga secara aktif turut serta menjadi legislator di samping DPR.
Keempat, agaknya hubungan pemerintah pusat dan daerah yang menempatkan provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dapat menjadi alternatif penguatan efektivitas dan sinkronisasi pembangunan. Kelima, mempertahankan Pasal 33 dan 34 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial yang bersemangatkan demokrasi ekonomi. Keenam, mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa capaian dan usulan perbaikan tata kelembagaan tersebut tentu masih membuka perdebatan lebih lanjut. Di sisi lain, agenda-agenda reformasi hendaknya tetap menjadi perhatian utama, seperti mempertahankan pemisahan militer dan politik; penguatan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme; serta penegakan hak asasi manusia. Proses konsolidasi demokrasi dan penguatan presidensialisme jangan sampai mundur mendekati oligarkisme, bahkan otoritarianisme.
Indikasi sederhana menguatnya oligarki ataupun otoritarianisme secara kelembagaan di antaranya ruang yang besar bagi militer aktif untuk berpolitik atau mengisi pos-pos penting eksekutif dan birokrasi, keberadaan lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas, serta pembatasan hak-hak asasi warga negara yang makin besar. Anasir untuk mengarahkan sistem politik ke dua mode politik itu perlu diwaspadai, khususnya dalam wacana amendemen kelima.