Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko Cahyono
Peneliti Agraria dan Korupsi Sumber Daya Alam di Sajogyo Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manuver politik pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan seolah-olah "dibiarkan" oleh presiden telah menyediakan belati mutilasi terhadap otoritas dan kewenangan KPK. Untuk mengukur derajat ancaman mutilasi itu, tulisan ini hendak mengujinya dengan memetakan ragam kontribusi KPK, khususnya melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), yang ditandatangani di Istana Negara pada 19 Maret 2015 oleh 29 kementerian dan lembaga negara serta 12 kepala daerah untuk menjawab setidaknya tiga masalah korupsi sumber daya alam dan keagrariaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, masalah agraria sebagai warisan residual menjadi konsekuensi yang panjang dari model paradigma pengurusan sumber agraria nasional sejak zaman kolonial hingga watak moda produksi neoliberal-neokolonial yang berciri komodifikasi sumber daya alam dan agraria untuk layanan pasar global.
Kontribusi GNPSDA adalah merintis gerakan penyadaran untuk memutus mata rantai kolonisasi dan neokolonisasi sumber-sumber agraria nasional. Seluruh proses komodifikasi, eksploitasi, dan ekstraksi sumber daya alam oleh korporasi nasional dan transnasional tidak akan bisa terwujud jika politik perizinan dan tata kelola sumber daya alam bersih dari korupsi. KPK menghalangi niat jahat para komprador dan oligark, baik dengan jalan penindakan untuk efek jera maupun perbaikan sistem dengan pencegahan.
Merujuk pada laporan Transparansi untuk Keadilan (2018), kekayaan 29 konglomerat oligark bisnis kelapa sawit di Indonesia diperkirakan setara dengan 67 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017. Pada periode itu, APBN sebesar Rp 2.080 triliun dan total kekayaan para taipan tersebut mencapai US$ 88 miliar atau Rp 1.241 triliun.
Kedua, watak politic of ignorance agraria. Kebijakan agraria dan sumber daya alam dari masa ke masa terasa makin jauh dari mandat konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria. Hingga kini, kebijakan agraria kerap menyisakan jurang antara "persepsi nalar elite" dan "persepsi nalar massa" (Weirtheim, 2009). Misalnya, tawaran kebijakan atas nama Reforma Agraria justru jatuh ke domain legalitas aset, mengabaikan ketimpangan struktur agraria, dan justru memberikan karpet merah kepada land reform yang dipandu kepentingan pasar. Usulan penguatan hak pengelolaan oleh negara, bank tanah, pemutihan hak guna usaha, dan lain-lain, yang termuat dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan adalah contoh aktualnya.
Kontribusi GNPSDA adalah melalui terobosan dengan mengecek ulang, mengganggu, mengoreksi, serta mencabut perizinan dan konsesi sumber daya alam yang melanggengkan konsentrasi dan polarisasi penguasaan tanah oleh segelintir orang dan kelompok kuasa (ekonomi dan politik). KPK berfokus pada pembongkaran kasus korupsi dan kerugian negara di sektor utama penerimaan negara, seperti kehutanan, pertanahan, dan pertambangan. Contohnya, berdasarkan data kajian Koordinasi Supervisi KPK (2014), dari jumlah izin usaha pertambangan (IUP) yang bermasalah hingga September 2015, tercatat 721 IUP telah dicabut di 12 provinsi.
Ketiga, oligarki agraria yang berkelindan dengan korupsi sumber daya alam. Hampir semua orang terkaya di negeri ini adalah penguasa tanah dan sumber-sumber agraria skala luas. Gurita oligarkinya dihasilkan dengan praktik state capture bersama kroni pemegang kekuasaan politik di pusat dan daerah. Lebih dari 70 persen kepala daerah di arena pemilihan kepala daerah didukung oleh korporasi tersebut dengan kompensasi kemudahan izin dan konsesi. Akibatnya, ratusan kepala daerah dan kroninya masuk penjara KPK (KPK, 2017).
Temuan evaluasi GNPSDA (2019) menunjukkan bahwa praktik gurita oligarki korupsi sumber daya alam di Indonesia berakar pada masalah kelindan praktik state capture corruption dan lemahnya fungsi otoritas kelembagaan negara. Ini merupakan akibat dari kuatnya pseudo-legal kuasa "institusi alternatif" dari suatu jaringan yang dipelihara oleh kekuasaan yang secara de facto lebih besar daripada kekuasaan legal negara. Kesimpulannya, kuatnya oligarki korupsi itu menggeser bentuk korupsi di sektor sumber daya alam, dari bentuk korupsi yang bersifat institusional menjadi korupsi yang bersifat struktural.
Dalam masalah ini, kontribusi GNPSDA adalah memetakan masalah pengalamiahan sistem korupsi. KPK juga menunjukkan keterbatasan penyelesaian dengan cara-cara lama, seperti reformasi birokrasi dan revisi aturan. Butuh cara-cara baru dalam pemberantasan korupsi sehingga mampu membongkar struktur pencipta korupsi dan state capture korupsi sumber daya alam.
Dengan pertimbangan beragam kontribusi KPK melalui GNPSDA tersebut, terlihat bahwa manuver politik revisi Undang-Undang KPK mempunyai pesan jelas, yakni status quo oligarki korupsi yang beririsan dengan oligarki agraria mulai tak nyaman dan terancam. Munculnya gerakan dukungan masyarakat sipil yang menolak revisi Undang-Undang KPK menjadi bukti masih ada kewarasan di negeri ini. Justru menjadi ironi jika orang yang "paham" sejarah dan cita-cita luhur kelahiran KPK malah membiarkan anaknya sendiri mau disuntik mati. Menolak revisi Undang-Undang KPK adalah bukti kewarasan berpikir dan bertindak untuk menjaga marwah negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo