Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semangat untuk menggelar pemilu yang hanya diikuti oleh calon legislator yang bersih berakhir antiklimaks. Mahkamah Agung (MA) akhirnya membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang partai-partai memasang bekas narapidana korupsi sebagai calon legislator. Keputusan itu tentu mengecewakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MA memang tak sepenuhnya bisa disalahkan. Secara legal-formal, Undang-Undang Pemilu memang tak melarang bekas koruptor mencalonkan diri. Putusan itu pun memenuhi unsur kepastian hukum, yakni PKPU tak boleh melampaui Undang-Undang Pemilu yang derajatnya lebih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, penegakan hukum yang ideal semestinya juga mempertimbangkan aspek manfaat hukum. Hal itulah yang terlewatkan dalam putusan MA soal PKPU. Alih-alih memberikan manfaat, pencabutan PKPU tersebut justru membuka ruang bagi koruptor untuk kembali ke parlemen.
Seharusnya MA berani membuat terobosan dengan menambal "lubang" di Undang-Undang Pemilu. Apalagi PKPU tersebut sejalan dengan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Tanpa terobosan dalam hal peraturan dan perundangan-undangan, jumlah bekas koruptor yang kembali mencalonkan diri dan berpeluang duduk kembali di kursi Dewan bisa berlipat. Soalnya, jumlah wakil rakyat yang dipenjara lantaran korupsi terus meningkat. Tahun ini saja Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menjerat 61 wakil rakyat sejak Januari, tiga kali lipat dari tahun lalu.
Tentu saja KPU tak boleh langsung menyerah. Ide memberi tanda khusus kepada calon legislator bekas koruptor di dalam kertas suara bisa dicoba. Masih cukup waktu untuk mendesain ulang kertas suara. Pemilih harus tahu bahwa para calon wakil rakyat itu pernah berkhianat dan mencuri uang rakyat. Langkah itu juga bisa memberikan contoh berpolitik yang baik kepada masyarakat.
Mengingat waktu pemilihan kian mendekat, KPU sebaiknya segera menindaklanjuti ide tersebut. Apalagi Presiden Joko Widodo juga sudah terang-terangan menyatakan dukungannya. Dia bahkan mengklaim sudah mengajukan usul tanda pada kartu suara itu jauh-jauh hari.
Partai politik, yang biasanya alergi terhadap peraturan yang membatasi gerak politikus, banyak juga yang telah menyampaikan dukungan agar KPU menandai kartu suara. Beberapa partai politik bahkan menyatakan bertahan untuk tetap tak mengajukan bekas narapidana korupsi sebagai calon anggota legislatif, meski PKPU telah dibatalkan MA. Publik harus mengapresiasi langkah partai-partai politik itu dengan memilih kandidat yang bersih.
Sebaliknya, partai-partai politik yang ngotot mencalonkan bekas narapidana korupsi--dengan alasan para koruptor itu memiliki hak asasi untuk memegang jabatan publik--mesti dihindari. Caranya adalah dengan tidak memilih para bekas narapidana korupsi. Hanya dengan begitu kita bisa membersihkan DPR dan DPRD dari korupsi dan berharap kinerja mereka membaik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo