Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Bahaya Kriminalisasi Aktivis

Upaya penjemputan paksa Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar membahayakan demokrasi. Kasus ini mesti dihentikan.

20 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kriminalisasi Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar.

  • Bagaimana kriminalisasi aktivis mengancam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

  • Undang-undang menjamin kebebasan sipil untuk menyampaikan pendapat, termasuk mengkritik pejabat publik.

Upaya penjemputan paksa Koordinator Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar oleh polisi merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Alih-alih melindungi kemerdekaan berpendapat dengan tidak memproses laporan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan atas dua aktivis tersebut, polisi justru terkesan menjadi alat kekuasaan dengan memaksakan melanjutkan kasus itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tindakan kriminalisasi itu terjadi ketika tim penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya menyambangi kediaman Fatia dan Haris pada Selasa, 18 Januari 2022, agar bersedia menjalani pemeriksaan di kantor polisi. Sebelumnya, polisi memanggil keduanya untuk memberikan keterangan pada 23 Desember 2021 dan 6 Januari 2022. Karena alasan ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan, mereka meminta penundaan pemeriksaan pada 7 Februari 2022. Tapi, sebelum hari itu tiba, penyidik malah menempuh opsi pemanggilan paksa. Keduanya menolak upaya tersebut dan memilih mendatangi kantor polisi untuk memberikan keterangan pada siang harinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upaya jemput paksa itu merupakan preseden buruk bagi kebebasan berekspresi. Ada indikasi kuat hukum digunakan untuk membungkam mereka yang kritis terhadap penguasa. Semestinya negara melindungi mereka, bukan malah menggunakan polisi untuk melakukan kriminalisasi. Apalagi, dalam kasus Fatia dan Haris, keduanya hanya menyampaikan hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil yang metodenya ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.

Riset yang dimaksud berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya. Riset yang digarap para aktivis lingkungan dan pembela hak asasi manusia, termasuk Kontras yang dipimpin Fatia, itu menyoroti bisnis tambang emas di Intan Jaya, Papua. Salah satu temuannya adalah dugaan bahwa Luhut terafiliasi dengan perusahaan pemegang izin tambang emas di Sungai Derewo, Intan Jaya. Fatia dan Haris kemudian mengangkat topik itu dalam video yang disiarkan di YouTube dengan judul Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga ada!!

Luhut Pandjaitan menanggapi tayangan video tersebut dengan melaporkan Fatia dan Haris ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama, dan menggugat keduanya untuk membayar ganti rugi Rp 100 miliar. Luhut, yang kerap mengklaim sebagai orang yang menjunjung tinggi budaya demokrasi, semestinya merespons tuduhan itu dengan menunjukkan bukti kepada publik bahwa dia tak terlibat dalam bisnis tambang seperti temuan riset yang diangkat Fatia dan Haris dalam tayangan videonya. Melapor ke polisi, apalagi menyangkut temuan riset, adalah tindakan pelecehan hukum atau judicial harassment.

Diskusi hasil riset yang disampaikan Fatia dan Haris jelas bukan tindak pidana. Pasal 310 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan surat keputusan bersama perihal dugaan tindak pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik poin 3 (c) untuk Pasal 27 ayat 3 mengatur bahwa semua bentuk ekspresi yang menyangkut riset, kajian, penilaian, kritik, dan evaluasi merupakan kepentingan publik. Maka, apa yang dilakukan Fatia dan Haris bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan atau pencemaran nama.

Penanganan kasus ini oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya juga terkesan dipaksakan. Hal itu tampak dari sikap polisi yang buru-buru menaikkan status perkara ke tahap penyidikan. Padahal Surat Edaran Kepala Polri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif jelas mewajibkan mediasi dalam penanganan kasus UU ITE. Surat edaran yang sama juga menekankan pendekatan keadilan restoratif, bukan pendekatan represif aparat.

Karena itu, tak ada alasan polisi meneruskan laporan Luhut. Sebab, sesuai dengan semboyan lembaga ini, tugas polisi adalah melindungi masyarakat, bukan pejabat.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus