Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kriminalisasi dan Keadilan yang Dihalangi

9 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH ironi muncul di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Satu di antaranya: Kepolisian Negara Republik Indonesia, lembaga yang semestinya menegakkan hukum, justru menghalang-halangi penegakan hukum. Tindakan polisi menghalangi penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perkara Komisaris Jenderal Budi Gunawan, ironisnya, "direstui" oleh hampir semua kekuatan politik, termasuk Istana Kepresidenan. Walhasil, di bawah "komando" Komisaris Jenderal Budi Waseso, Kepala Badan Reserse Kriminal yang kekuasaannya terlihat jauh lebih besar daripada Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, Kepolisian dengan leluasa merontokkan kekuatan komisi antikorupsi.

Operasi pertama menjegal kerja KPK dilakukan dengan menjerat Wakil Ketua Bambang Widjojanto. Berdasarkan "laporan masyarakat" yang diduga diorkestrasi, Kepolisian juga membidik Ketua Abraham Samad serta dua wakil ketua—Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain. Operasi lain dijalankan untuk menghambat penyidikan perkara Budi Gunawan, yang disangka menerima suap dan gratifikasi, termasuk melarang saksi-saksi memenuhi panggilan komisi antikorupsi.

Restu politik seolah-olah diberikan Presiden karena ia berlama-lama menyelesaikan kisruh kedua lembaga. Dengan dalih "tak mau mengintervensi proses hukum", Istana telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi petinggi Kepolisian untuk mengkriminalisasi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, sekaligus menghambat proses hukum Budi Gunawan.

Operasi gelap itu diduga melibatkan orang-orang di sekitar Presiden dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai utama yang mencalonkan Jokowi sebagai presiden. Hasto Kristiyanto, pelaksana tugas sekretaris jenderal partai itu, berada di garis depan. Ia menggunakan pendekatan politik untuk merespons penetapan tersangka Budi Gunawan, yang disebutnya sebagai "balas dendam Abraham Samad karena gagal menjadi calon wakil presiden Jokowi".

Dengan politik pula ia berusaha mendelegitimasi proses hukum terhadap Budi Gunawan oleh komisi antikorupsi. Ia, misalnya, mengungkap pertemuan-pertemuan politik yang, menurut dia, dihadiri Samad. Ia juga menuduh Samad mendagangkan kasus agar bisa dipasangkan dengan Jokowi—sebelum Jusuf Kalla ditetapkan sebagai calon wakil presiden. Alih-alih melaporkannya ke Komite Etik KPK, Hasto mengadu ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.

Tuduhan Hasto tentang pertemuan politik yang dihadiri Samad mungkin saja benar. Tapi menghubungkannya dengan penetapan tersangka Budi Gunawan berlebihan dan sembrono. Sebab, proses penanganan perkara hingga penetapan tersangka di KPK dilakukan berjenjang dan harus disetujui setidaknya tiga dari lima pemimpin lembaga itu.

Langkah politik Hasto semakin berbahaya karena ia kemudian juga berkolaborasi dengan tim kepolisian yang dibentuk untuk mengkriminalkan pemimpin KPK. Ia diduga bertemu dengan perwira penyidik, termasuk membahas operasi ini bersama Abdullah Makhmud Hendropriyono, Kepala Badan Intelijen Negara pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri—kini Ketua Umum PDI Perjuangan.

Jika terbukti, operasi itu merupakan pelanggaran pidana. Para pelakunya harus diusut karena telah merintangi penyidikan, yang menurut Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi diancam hukuman 3-12 tahun penjara. Komisi antikorupsi pernah menggunakan pasal ini untuk menjerat Anggodo Widjojo setelah "cicak versus buaya" jilid pertama. Anggodo kini menjalani hukuman sepuluh tahun penjara.

Presiden Jokowi sepatutnya segera mengambil langkah untuk menghentikan operasi pelemahan komisi antikorupsi. Prioritas utama adalah menunjuk calon Kepala Polri pengganti Budi Gunawan. Karena tindak buruknya, Budi Waseso, yang direkomendasikan Komisi Kepolisian Nasional, selayaknya tidak dipilih.

Pengajuan calon Kepala Polri baru ini penting karena penetapan Badrodin Haiti sebagai "pelaksana tugas" terbukti tidak efektif. Ia tidak mampu mengendalikan operasi-operasi liar yang dilakukan bawahannya. Pemilihan calon yang relatif tidak terlibat dalam konflik Polri-KPK juga perlu dilakukan agar kriminalisasi terhadap pemimpin komisi antikorupsi tidak dilanjutkan.

Tak banyak waktu bagi Presiden Jokowi. Ia, yang dalam visi-misinya berkomitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, tentu tidak ingin Komisi Pemberantasan Korupsi runtuh pada awal periode pemerintahannya. Jika itu terjadi, Jokowi telah menorehkan ironi terbesar dalam sejarah demokrasi kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus