Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KTT ASEAN tak lebih dari kongko-kongko rutin para pemimpin di Asia Tenggara.
KTT ASEAN tak bisa menghasilkan kesepakatan konkret dan mengikat anggotanya.
Hajatan mahal di Labuan Bajo tercoreng intimidasi aparat dan konflik agraria.
ASEAN makin tak relevan. Apalagi di era globalisasi, di era ketika semua ideologi politik tak ada yang murni, di masa ketika teknologi mengendalikan tubuh dan pikiran manusia, perkumpulan 10 negara Asia Tenggara yang didirikan pada 1967 untuk menangkis komunisme itu telah kehilangan konteks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak relevannya ASEAN dalam urusan publik di Asia Tenggara terlihat dalam konferensi tingkat tinggi di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada 9-11 Mei 2023. Pertemuan itu tak ubahnya persamuhan keluarga kepala negara ASEAN. Bertemu di kapal pinisi yang melaju di antara pulau-pulau yang indah di Taman Nasional Komodo, mereka tak ubahnya sedang pelesir arisan para jiran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASEAN tak berkutik menghadapi junta militer di Myanmar. ASEAN tak berdaya mencegah krisis kemanusiaan Rohingya. ASEAN juga tak menaruh perhatian pada krisis di Papua. Bahkan perkumpulan negara itu tak terdengar merumuskan upaya bersama negara di kawasan ini untuk menangkis gelombang pandemi virus corona.
Tema KTT ASEAN ke-42 adalah “Epicentrum of Growth”. Giliran dipimpin Indonesia, tanpa Myanmar dan Thailand, pertemuan para kepala negara itu hendak membangun kembali ekonomi setelah masa pandemi Covid-19. Tapi bagaimana caranya, tak ada strategi yang konkret. Sebab, ASEAN tak punya perangkat untuk itu.
ASEAN tak seperti Uni Eropa yang memiliki parlemen, komisi, dan seperangkat aturan yang mengikat 27 negara anggotanya. Urusan Inggris yang keluar dari organisasi ini saja menjadi problem politik yang membelah penduduk kerajaan itu. Ada banyak dampak sebuah negara keluar dari Uni Eropa, mengingat syarat bergabung dengan organisasi ini adalah kehilangan kedaulatan negara.
Negara-negara Asia Tenggara tak akan terimbas apa pun jika mereka keluar dari ASEAN. Junta militer Myanmar tetap berkuasa meski merebut kekuasaan dengan cara-cara tak demokratis dan merampas hak asasi manusia. Kita tak kunjung bisa menyelesaikan urusan tenaga kerja Indonesia dengan Malaysia. Bahkan Indonesia tak berkutik di hadapan Singapura dalam hal kerja sama pemulangan aset terduga pencucian uang.
Maka harga relevansi ASEAN tak sebanding dengan korban dalam persiapannya. Untuk menyambut para kepala negara dan delegasi ASEAN, pemerintah membangun jalan sepanjang 25 kilometer dari Labuan Bajo ke Golo Mori dengan mengusir 50 keluarga di Kampung Cubi di Desa Waroka. Presiden Joko Widodo meresmikannya pada Maret lalu. Para penduduk terusir dari kampung halaman mereka tanpa ganti rugi.
Baca artikelnya:
Alih-alih ada penyelesaian, dua aktivis yang mengadvokasi masyarakat mendapatkan hak mereka malah diintimidasi oleh polisi. Aparat menuduh keduanya menghasut penduduk menentang pembangunan. Penyelidikan itu makin menunjukkan ASEAN tak relevan dengan perkembangan zaman. Intimidasi yang jadi ciri otoritarianisme 1960-an masih dipertahankan untuk memoles citra kosong organisasi ini.
Jika masih ingin relevan dengan perubahan, ASEAN harus merumuskan strategi yang kekinian. Dengan jumlah penduduk hampir 1 miliar, negara-negara ASEAN sebetulnya punya peluang menjadi kekuatan alternatif mengimbangi aliansi negara-negara maju seperti Uni Eropa atau koalisi Trans-Pasifik. Untuk bisa ke sana, tiap negara perlu memperkuat demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia serta menjaga lingkungan tropis yang menjadi benteng terakhir planet bumi terhindar dari krisis iklim.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak di bawah judul "Forum Arisan Para Jiran"