Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Undang-undang mensyaratkan 2 persen ASN adalah penyandang disabilitas.
Kebijakan afirmasi ini tak pernah terpenuhi sejak undang-undang terbit pada 2016.
Negara harus membuat peta jalan pencapaian kuota tersebut dan memastikan rencana aksinya berjalan.
Bonataon Maruli Timothy Vincent Simandjorang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti di Pusat Riset Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Forum Tingkat Tinggi ASEAN tentang Pembangunan Inklusif Disabilitas dan Kemitraan Pasca 2025 pada Oktober lalu melahirkan tiga poin utama. Pertama, kesamaan tujuan dan penegasan kuat negara anggota ASEAN untuk memajukan hak-hak penyandang disabilitas. Kedua, kolaborasi dan kemitraan di dalam dan di luar ASEAN. Ketiga, komitmen untuk meningkatkan peran dan memastikan partisipasi penuh penyandang disabilitas.
Indonesia sebagai negara anggota ASEAN masih punya banyak pekerjaan rumah untuk memenuhi poin-poin tersebut. Sekitar 23 juta penyandang disabilitas di Indonesia diperkirakan tidak memiliki akses terhadap teknologi bantuan penting yang mereka perlukan. Ini dapat merugikan perekonomian global rata-rata hingga 7 persen dari produk domestik bruto (PDB) setiap tahun. Hal ini merupakan salah satu hasil kesimpulan diskusi publik yang dilakukan Katalis, program Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA), di Jakarta pada akhir September lalu.
Menurut Katalis, mayoritas penyandang disabilitas di Indonesia adalah orang lanjut usia dan perempuan, yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, kesehatan yang lebih buruk, akses yang lebih sedikit terhadap layanan publik, dan pilihan ekonomi yang lebih terbatas. Indonesia kini berada di peringkat ke-108 dari 192 negara dalam Indeks Keinklusifan Global 2023 dan berada di posisi ke-88 untuk indeks keinklusifan disabilitas.
Pemerintah sebenarnya telah mencapai kemajuan signifikan dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Pasal 53 Undang-Undang Penyandang Disabilitas mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 2 persen dari jumlah pekerja. Sektor swasta diwajibkan minimal 1 persen. Kebijakan afirmatif ini telah ditegaskan dalam Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) bahwa manajemen dan kebijakan ASN harus mempertimbangkan penyandang disabilitas. Namun penerapannya masih bias.
Jumlah ASN saat ini sekitar 4,2 juta orang, sehingga negara wajib mempekerjakan minimal 85.648 penyandang disabilitas sebagai ASN. Pemerintah membuka sejumlah formasi bagi penyandang disabilitas sejak 2013 dengan rata-rata yang diterima 2.000–3.000 orang per tahun. Akibatnya, sejak diterbitkannya Undang-Undang ASN itu, setidaknya 2 persen dari hak tersebut belum direalisasi.
Selain itu, sejak dulu masih ada lembaga yang tidak membuka formasi penyandang disabilitas. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum membentuk institusi inklusif disabilitas pada tahun ini. Akibatnya, penyandang disabilitas tidak bisa bekerja sebagai ASN di KPK dan berkontribusi dalam agenda pemberantasan korupsi. Partisipasi aktif mereka di bidang riset dan inovasi juga tertutup karena Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan syarat berat berupa pendidikan S-3 untuk dapat menjadi seorang peneliti.
Pemerintah Indonesia membuka 2.574 formasi untuk penyandang disabilitas pada 2019. Namun hanya 1.865 orang yang mendaftar. Ironisnya, 2.158 orang dinyatakan lolos seleksi setelah optimalisasi. Dalam kebijakan optimalisasi pemerintah, posisi-posisi yang kosong tadi diisi oleh kandidat yang tidak menyandang disabilitas. Kebijakan yang tidak bijak ini terus berulang setelah 2019, seperti rekrutmen pada 2022.
Sebagai anggota G20, Indonesia seharusnya mengadopsi praktik terbaik dari sejumlah negara lain, misalnya Inggris. Pegawai negeri dengan kondisi disabilitas di Inggris berjumlah 14 persen pada 2022, naik secara signifikan dari 1,3 persen pada 1988. Namun jumlah ini masih di bawah angka acuan 15,5 persen. Adapun 8,8 persen posisi manajerial kini dijabat oleh penyandang disabilitas. Inggris juga membentuk Disability Confident Pledge dan Civil Service Disability Network (CSDN) dalam upaya meningkatkan kebijakan inklusi disabilitas bagi pegawai negeri.
Di Jerman, pemberi kerja di sektor publik dan swasta harus mengisi 5 persen posisi mereka dengan penyandang disabilitas. Denda bulanan akan dikenakan bagi mereka yang tidak patuh untuk memberikan lowongan bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas juga diberi perlindungan ekstra dari pemecatan sepihak. Di Hong Kong, pemerintah secara proaktif bertanya kepada kandidat penyandang disabilitas apakah mereka memerlukan dukungan atau akomodasi untuk tahapan rekrutmen.
Untuk memenuhi hak kuota minimal 2 persen yang telah ditetapkan undang-undang, negara harus hadir. Seluruh lembaga publik perlu dievaluasi secara menyeluruh, termasuk lembaga-lembaga negara yang belum menaruh perhatian tinggi terhadap kuota afirmasi bagi penyandang disabilitas seperti Bank Indonesia, beberapa BUMN, dan BUMD. Dengan merangkul organisasi masyarakat sipil untuk penyandang disabilitas, pemerintah dapat terlibat secara aktif dan menggunakan berbagai platform untuk terhubung dengan penyandang disabilitas. Pemerintah juga harus mengoptimalkan formasi penyandang disabilitas dengan cara yang bijaksana.
Kebijakan afirmatif terhadap prosedur seleksi rekrutmen ASN bagi penyandang disabilitas diperlukan. Pencarian formasi bagi mereka yang dimuat di situs ASN Karier juga masih menjadi masalah bagi mereka. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah batasan usia saat mendaftar yang hanya 35 tahun; nilai kelulusan yang terlalu memberatkan, terutama pada saat tes inteligensia umum; pilihan formasi jabatan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka; serta kondisi dan durasi tes yang masih belum cukup.
Tes wawancara terbaik adalah wawancara berbasis kompetensi (CBI) untuk meminimalkan bias. Pewawancara diharuskan untuk berfokus hanya pada kompetensi pelamar. Selain perlunya melibatkan asesor dan tenaga ahli dari kelompok penyandang disabilitas, pewawancara dan panitia pelaksana tes perlu menjalani pelatihan dan sertifikasi untuk meningkatkan kesadaran terhadap disabilitas dan layanan pemerataan bagi penyandang disabilitas seperti yang telah dilakukan di Irlandia.
Ironisnya, pemerintah dan DPR belum menjadikan hal ini sebagai isu penting dalam revisi Undang-Undang ASN yang sudah difinalkan. Seharusnya negara membuat peta jalan pencapaian hak kuota minimal 2 persen bagi penyandang disabilitas dan memastikan rencana aksi, mulai dari akuisisi, karier, kompetensi, manajemen talenta, infrastruktur kerja, hingga lingkungan yang memadai bagi ASN penyandang disabilitas. Setidaknya pemerintah harus bisa mencapai kuota 5 persen bagi mereka secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan. Karena itu, penyandang disabilitas harus mendapat prioritas utama para elite eksekutif dan legislatif dengan perlakuan setara dan adil seperti kepada sekitar 2 juta tenaga honorer di pusat dan daerah yang akan diselamatkan menjadi ASN.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo