Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
DEMOKRASI memerlukan imajinasi, kata Azar Nafisi dalam The Republic of Imagination yang terbit pada 2014. Ilmuwan politik asal Iran di John Hopkins University Amerika Serikat itu menganalisis mengapa demokrasi di Amerika hidup dan berkembang. Jawabannya adalah budaya warga negaranya dalam membaca sastra yang menumbuhkan imajinasi dan kebebasan berpikir. Demokrasi tanpa imajinasi akan seperti pikiran para penyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Atau dalam penyusunan hukum apa pun. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah acap memakai perspektif yang sempit. Pikiran sempit ini terjadi karena minimnya debat gagasan karena mereka menganggap partisipasi publik tidak penting. Jika pun ada, publik hanya dibatasi pada ahli, pakar, atau mereka yang dianggap mumpuni dalam sebuah bidang. Rakyat kebanyakan—mereka yang terkena imbas beleid-beleid itu—tak punya tempat dalam proses legislasi kita. Bahkan ada kesan, di era pemerintahan Joko Widodo ini, rakyat dianggap sebagai pengganggu proses politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam hal RUU KUHP, pemerintah dan DPR hanya mengundang para ahli untuk menyusun naskah akademik hingga membunyikannya dalam lebih dari 700 pasal. Tak heran jika revisi naskah kitab hukum pidana Indonesia ini bertaburan perspektif mengejar warga negara sebagai kriminal. Hukum tak dibuat untuk mencegah kejahatan, melainkan mengedepankan sanksi—seperti polisi di pengkolan yang menunggu kesalahan pengendara untuk menilangnya.
Karena itu ada banyak hal-hal mentah dan wagu dalam RUU KUHP. Misalnya, Pasal 338 tentang ancaman hukuman bagi siapa saja yang menghasut hewan sehingga membahayakan orang lain. Mereka yang memelihara anjing di rumah, lalu melatihnya agar menjaga rumah dari maling, bisa-bisa masuk penjara karena pencuri itu terluka oleh serangan anjing yang sedang berjaga.
Ada banyak pasal aneh di RUU KHUP yang akan dibahas dan disahkan DPR setelah 15 Agustus 2022. DPR menargetkan RUU KUHP yang bolak-balik dibahas sejak 2000 itu bisa sah setelah masa reses satu bulan sejak pekan lalu selesai. Dalam draf yang sudah diserahkan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Omar Hiariej ke DPR, ada 14 masalah krusial yang akan dibahas pemerintah dan DPR, seperti penodaan agama, ilmu sihir, pidana mati, aborsi, perzinaan.
Di luar 14 masalah krusial itu, ada banyak pasal lain yang lentur sehingga tafsirnya bisa dibelok-belokkan sesuka hati para penegak hukum. Misalnya, soal penghinaan kepada lembaga atau menghukum para gelandangan dengan denda Rp 1 juta. Alih-alih mengentaskan kemiskinan dan mendorong pemenuhan hak-hak warga negara, pemerintah lebih senang menghukum mereka karena miskin.
Hukum seperti ini hanya lahir dari mereka yang tak punya imajinasi, pakar-pakar hukum yang pikirannya berhenti di abad lalu ketika pemerintahan kolonial Belanda membuat hukum pidana dengan semangat memenjarakan penduduk Nusantara. Maka siapa saja yang dianggap menghina Ratu akan dijebloskan ke bui. Padahal, dalam demokrasi modern, menghina Ratu, kepala negara, atau mereka yang berkuasa adalah bagian dari kritik. Demokrasi tanpa kebebasan menghina pejabat publik bukan demokrasi.
DPR dan para pejabat kita tak belajar dari pembahasan UU Ibu Kota Negara yang super kilat. Setelah beleid itu sah, baru mereka paham ada banyak bolong. Bentuk Otorita Khusus pemerintahan Ibu Kota Nusantara dalam UU IKN bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah yang tak mengakui jenis khusus pemerintahan IKN. Itu karena DPR dan pemerintah hanya mendengar ahli-ahli yang pro percepatan pemindahan ibu kota negara, sesuai ambisi Jokowi.
Pemerintah dan DPR tutup kuping pada pendapat yang kontra. Imajinasi pun menjadi terbatas, termasuk pikiran-pikiran sebaliknya dari rumusan-rumusan yang mereka buat. Maka tak mengherankan jika para ahli hukum hendak menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi. Jika tiap undang-undang digugat lalu gugur karena perspektifnya keliru, betapa mahal membuat hukum di Indonesia.
Para pakar hukum dan pemerintah serta DPR yang menyewanya mesti paham esensi demokrasi dan pembuatan aturan, yakni partisipasi publik. Menyertakan pendapat yang beragam sekaligus pengakuan bahwa kebenaran ada di mana-mana, termasuk dalam pendapat-pendapat yang tak mereka suka. Karena RUU KUHP akan mengatur hajat hidup orang banyak, seharusnya orang banyak pula yang terlibat membahasnya.