Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan tahunan 2018 PT Krakatau Steel, beban keuangan perusahaan baja itu sepanjang 2018 mencapai US$ 112 juta atau setara dengan Rp 1,57 triliun. Beban tersebut membengkak lebih dari dua kali lipat dibanding pada 2011, yang hanya US$ 41 juta. Melonjaknya beban keuangan itu juga tidak terlepas dari utang perseroan. Hingga 2018, total utang perusahaan mencapai US$ 2,49 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerugian yang dialami perusahaan selama tujuh tahun berturut-turut, ditambah jumlah utang yang menggunung, tentu berpotensi menjadi masalah besar. Apalagi kas dan setara kas perseroan juga tinggal US$ 173 juta. Bisa dibilang, kondisi perusahaan ini sudah lampu kuning.
Kondisi perusahaan yang sekarat mengharuskan manajemen segera bersikap. Salah satunya melakukan restrukturisasi, yang akan berujung pada kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Faktanya, Krakatau Steel sudah melakukan upaya restrukturisasi organisasi berdasarkan Surat Edaran Nomor 73/Dir.SDM-KS/2019 perihal restrukturisasi organisasi hingga 2022. Perusahaan akan melakukan perampingan menjadi 4.352 posisi sehingga akan mengurangi sekitar 1.300 pegawai. Meskipun belum ada PHK secara resmi, sejak 1 Juni 2019, mutasi karyawan dan pengurangan jam kerja telah dilakukan di dua anak perusahaannya, pabrik Long Product dan PT Krakatau Wajatama.
Krakatau Steel juga melakukan restrukturisasi utang. Perusahaan pelat merah ini melakukan penandatanganan perubahan dan pernyataan kembali perjanjian pokok utang perseroan dengan sejumlah perbankan pelat merah dan swasta. Untuk itu, Krakatau Steel telah melakukan penandatanganan dengan lima bank sindikasi, di antaranya Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia.
Langkah lain adalah menjual aset-aset non-core, mencari mitra bisnis strategis, melakukan spin-off, dan melepas unit kerja yang semula bersifat cost center atau hanya melayani induk perusahaan menjadi bagian dari pengembangan bisnis anak perusahaan sehingga bersifat profit center. Rencana awal perseroan adalah melepas sebagian kepemilikan saham di entitas anak usahanya, seperti PT Krakatau Bandar Samudera, PT Krakatau Daya Listrik, dan PT Krakatau Tirta Industri.
Terlepas dari masalah internal perusahaan, situasi makro perbajaan juga ikut mempercepat kerusakan. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunan ikut menjadi biang pengecilan ceruk bisnis Krakatau Steel. Aturan itu mengandung cukup banyak persoalan yang memberatkan situasi perbajaan domestik. Contohnya, penghapusan syarat pertimbangan teknis yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian dalam hal impor besi dan baja. Padahal industri baja di negara mana pun selalu diposisikan sebagai industri strategis, sehingga Kementerian Perdagangan tidak boleh bermain sendiri dan memperlakukan sektor perbajaan layaknya bisnis kacang goreng yang seolah-olah ringan konsekuensinya.
Aturan tersebut juga mempertegas pelonggaran pemeriksaan barang masuk, dari sebelumnya barang harus diperiksa lebih dulu sebelum masuk menjadi masuk dulu baru diperiksa. Yang melakukan pemeriksaan pun bukan Bea Cukai, melainkan Kementerian Perdagangan sendiri. Jadi, potensi penyelewengannya menjadi kian besar.
Sialnya, pemeriksaan hanya dilakukan secara acak, sehingga terbukalah praktik kecurangan. Di lapangan, catatan spesifikasi produk impor telah diganti untuk menghindari bea masuk. Akibatnya, banjirlah pasar domestik oleh produk impor. Bisnis Krakatau Steel pun tercederai hingga akhirnya alarm lampu kuning berbunyi.
Memang, sejak akhir Desember 2018, pemerintah telah mencabut peraturan itu dan menggantinya dengan peraturan baru. Namun, apa daya, komposisi peredaran baja sudah berubah cukup signifikan dan pangsa pasar Krakatau Steel makin menyempit. Imbasnya bisa dilihat dari data pada tahun aturan tersebut masih berlaku. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada pertengahan 2018, impor besi dan baja tercatat US$ 996,2 juta atau naik 56,55 persen secara tahunan. Secara kumulatif, sepanjang periode Januari-Juli 2018, nilai impor produk tersebut US$ 5,67 miliar, naik 36,30 persen pada periode yang sama dibanding tahun sebelumnya.
Nilai impor besi dan baja menempati posisi ketiga terbesar untuk periode Januari-Juli 2018, di bawah produk mesin dan pesawat mekanik serta produk mesin dan peralatan listrik. Secara umum, sekitar 55 persen kebutuhan konsumsi baja nasional, yang mencapai 14 juta ton pada 2018, dipenuhi oleh produk impor. Pangsa baja impor tersebut terus mengalami kenaikan karena pada 2017 pangsanya masih 52 persen. Dengan volume impor baja yang terus meningkat, Indonesia saat ini berhasil menduduki peringkat pertama dari enam negara pengimpor baja tertinggi di ASEAN. Dalam tekanan yang demikian, operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi pun ikut menghampiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo