Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Lalai Mengawasi Limbah Nuklir

Membuang limbah radioaktif sembarangan sangat membahayakan makhluk hidup dan mencemarkan lingkungan. Pengawasan Batan dan Bapeten masih lemah.

26 Februari 2020 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI harus mencari dan menindak tegas pembuang limbah radioaktif sesium-137 di lahan kosong di kawasan Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Tindakan pelaku mengotorkan lingkungan dengan limbah berbahaya dan beracun itu bisa mencelakakan manusia dan makhluk hidup. Terdeteksi Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) pada akhir Januari lalu, tingkat paparan radiasi sampah nuklir itu 1.818 kali lipat ambang batas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran memberikan sanksi yang terlalu ringan. Pelanggar aturan pengolahan limbah radioaktif itu cuma dipidana denda maksimal Rp 100 juta. Agar memberikan efek jera, polisi perlu memakai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 103 undang-undang ini menyatakan penghasil limbah B3 yang tidak mengelola sampah itudengan benar diancam penjara paling singkat satu tahun dan denda setidaknya satu miliar rupiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah polisi menggandeng Bapeten dalam menginvestigasi pemilik sampah nuklir itu sudah tepat. Bapeten sebagai institusi pengawas nuklir di Tanah Air semestinya mempunyai data produsen, pengguna, dan pengolah bahan radioaktif. Pelibatan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) juga benar karena lembaga ini memiliki tenaga ahli dan laboratorium yang lengkap. Setiap bahan radioaktif punya identitas unik sehingga produsen dan pemakainya bisa dilacak.

Walaupun sampah nuklir dinyatakan tidak bersumber dari kebocoran reaktor nuklir milik Batan, Bapeten tidak boleh berhenti. Lembaga ituharus memeriksa Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Batan sebagai satu-satunya institusi yang berwenang mengolah sampah nuklir. Mesti dipastikan bagaimana limbah yang seharusnya diolah dan disimpan bisa tersasar ke permukiman. Bapeten pun mesti memeriksa petugas institusi itu karena setiap pengiriman dan pemindahan bahan radioaktif harus seizin kepalanya.

Sampah radiasi di Serpong ditemukan tanpa sengaja. Penemuan terjadi ketika Bapeten menguji coba alat pendeteksi radiasinya pada 30 dan 31 Januari lalu. Patut disayangkan, penemuan itu tidak langsung ditindaklanjuti. Upaya dekontaminasi atau pembersihan area yang terkena radiasi baru dilakukan sebelas hari kemudian.

Padahal tingkat paparan radiasi di lokasi saat ditemukan mencapai 200 mikrosievert per jam. Nilai ambang batas dosis radiasi untuk masyarakat menurut Peraturan Kepala Bapeten Nomor 4 Tahun 2013 adalah 0,11 mikrosievert per jam atau 1 milisievert per tahun. Saat ditemukan, limbah sesium-137 sudah berwujud serpihan halus yang bercampur tanah. Belum diketahui seberapa besar limbah itu ketika pertama kali tercecer dan sudah berapa lama berada di lokasi tersebut.

Penemuan limbah radioaktif di Serpong dapat membuat masyarakat skeptis terhadap penggunaan nuklir sebagai sumber energi. Pembangkit listrik tenaga nuklir seperti di Jepang dan Rusia menuntut kedisiplinan yang tinggi dari para pengelolanya. Tanpa itu, mimpi memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia tampaknya harus dikubur dalam-dalam.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus