Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang mengorganisasi sejumlah organisasi masyarakat untuk memerangi pelaku kekerasan jalanan atau gangster merupakan langkah yang berbahaya. Aksi ini berujung pada upaya main hakim sendiri oleh masyarakat. Yang lebih parah, tindakan melawan hukum ini didukung oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak akhir November lalu, marak video yang menampilkan sekelompok anak muda membawa senjata tajam dan mengendarai sepeda motor di jalanan Surabaya, Jawa Timur. Mereka ditengarai hendak tawuran. Warga Surabaya menyebut mereka gangster. Eri Cahyadi mengaku resah. Untuk mengatasi kejahatan ini, ia mengumpulkan sejumlah organisasi masyarakat, polisi, dan anggota Tentara Nasional Indonesia sejak Sabtu malam, 3 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di hadapan ratusan orang, ia berpidato mengajak masyarakat Surabaya memerangi para pelaku kekerasan jalanan itu. Operasi yang dilakukan ratusan personel organisasi gabungan itu memang “berbuah” pada malam berikutnya. Pada Ahad dinihari, 4 Desember lalu, aparat bersama warga sipil menangkap 12 remaja yang sedang nongkrong di warung kopi dan diduga membawa senjata tajam. Hingga kini, belum ada kejelasan peran para remaja itu dalam tawuran sebelumnya.
Razia terhadap para pelaku kekerasan jalanan yang diinisiasi Wali Kota Surabaya ini mengancam supremasi hukum. Dalam pidatonya yang menggebu-gebu itu, Eri Cahyadi secara terang-terangan memprovokasi masyarakat melawan gangster dengan alasan telah menginjak-injak harga diri warga Surabaya. Apa pun dalihnya, praktik main hukum sendiri tidak dibenarkan dalam hukum Indonesia.
Wali Kota Surabaya beserta jajarannya seharusnya sudah paham bahwa memobilisasi masyarakat untuk menangkap penjahat adalah metode adu domba yang berisiko terlalu besar. Meski tetap melibatkan polisi, operasi ini berpotensi memicu konflik horizontal yang lebih luas karena melibatkan peran warga sipil untuk menangkap pelaku yang belum tentu bersalah.
Di daerah lain, gangster ala Surabaya ini kerap disebut sebagai geng sepeda motor. Di Yogyakarta, modus kejahatan ini disebut klitih. Geng sepeda motor merupakan masalah sosial. Jalan keluar untuk fenomena ini adalah kebijakan sosial dan penerapan hukum yang tepat. Sampai sekarang, gangster Surabaya itu baru bisa dijerat pasal kepemilikan senjata tajam.
Metode penanganan masalah sosial ini harus jitu dan komprehensif. Kasus klitih bisa menjadi contoh bagaimana penuntasan kasus yang tidak tepat sasaran oleh pemerintah setempat malah semakin melebarkan wilayah kejahatan dan kelompok pelaku. Jika pemberantasan teror jalanan seperti klitih ditangani secara serampangan, pada satu masa ia akan mengundang kejahatan lain yang lebih serius.
Tak ada kejahatan yang bisa diselesaikan dengan jalan pintas. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang melibatkan warga sipil untuk membantai anggota Partai Komunis Indonesia pada 1960-an bisa menjadi contoh konkret. Mereka ditangkap dan dibunuh hanya berdasarkan prasangka. Hingga sekarang, peristiwa tersebut menimbulkan tragedi kemanusiaan yang tak kunjung tuntas.
Mengatasi kejahatan kekerasan dengan kekerasan hanya akan memunculkan lingkaran setan. Bagaimanapun, pelaku kejahatan tetap harus dihukum. Tapi prosesnya mesti sesuai dengan peraturan. Apalagi sebagian pelaku ditengarai masih anak-anak dan bersekolah. Penanganan dengan melibatkan orang tua dan keluarga serta pihak sekolah bisa menjadi solusi.
Jika salah menerapkan hukuman, anak-anak tersebut justru akan mengulangi kejahatannya di masa depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo