Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sendiri atau sekongkol, Wiranto, Adi Sasono, Fuad Bawazier, Eros Djarot, disebut-sebut menggerakkan aksi protes mahasiswa. Sukar menakar kebenarannya, ketika Badan Intelijen Negara (BIN) melaporkan itu di sidang kabinet pekan lalu. Laporan itu mestinya tertutup, tapi bocor lewat pers. Masalah timbul manakala analisis setengah matang intelijen jadi isu politik. Jenderal Wiranto lalu membantahnya secara terbuka.
Ada berbagai segi persoalan di sini. Nama-nama yang disebut cukup berpotensi, bukan sembarangan. Wiranto, bekas Panglima ABRI dan terakhir jadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan; Adi Sasono, Ketua ICMI, bekas Menteri Koperasi; Fuad Bawazier, tokoh Korps Alumni HMI, pernah Menteri Keuangan; Eros Djarot, wartawan, Ketua Partai Nasionalis Bung Karno, pernah aktivis PDI Perjuangan yang dekat dengan Megawati. Boleh dikatakan semua punya pendirian politik yang berbeda dari posisi pemerintah sekarang.
Ditinjau secara tersendiri, tidak ada yang istimewa pada laporan itu. Sikap kritis, membantu mahasiswa bergerak, tidaklah melanggar aturan apa pun. Soalnya jadi lain kalau itu diartikan berniat menggulingkan kekuasaan pemerintah. Konotasi itu timbul sebab BIN juga melaporkan adanya rencana peningkatan aksi mahasiswa menuju kekacauan umum, dengan menciptakan korban yang dijadikan martir.
Sifat subversif lebih ditonjolkan lagi dengan desas-desus tentang bentuk "presidium" yang konon akan mengambil alih kepemimpinan negara. Fakta, informasi, cerita yang masih konon itu, perkiraan deduktif, semua dihubungkan dan dituangkan dalam satu kerangka, yang tersiar sebagai laporan intelijen. Kepastian mengenai isi dan bentuk laporan itu sendiri, terus terang, belum ada.
Yang penting ialah tentang kedudukan laporan intelijen sendiri. Yang terang, kegiatan intelijen negara semestinya tidak ditujukan untuk melayani urusan politik dalam negeri. Khususnya, tidak boleh dipakai untuk mempertahankan kepentingan pemerintah terhadap saingan politiknya. Penyalahgunaan kekuasaan seperti itu hanya dipraktekkan dalam rezim otoriter, seperti Orde Baru dulu. Batas-batasnya memang sulit ditarik. Seharusnya kegiatan dan tanggung jawab intelijen ditentukan undang-undang, yang sampai sekarang belum juga diadakan.
Laporan intelijen disajikan untuk pertimbangan pengambil keputusan; jadi tidak bersifat final dan berdiri sebagai keputusan itu sendiri. Celakanya kalau laporan yang mutunya bermacam-macam langsung dianggap benar semua dan dijadikan asumsi yang menentukan. Penilaian yang ada di dalamnya bisa jadi deklarasi yang merugikan pihak tertentu, seperti sering terjadi pada zaman Soeharto.
Kita tidak tahu, apakah laporan disusun setengah matang karena yang menyusun bodoh, atau sengaja dibuat untuk menyesuaikan dengan tingkat kecerdasan yang dilapori. Pokoknya sesudah ada laporan intel, sikap bisa diambil, konsekuensi bisa bermacam-macam. Apalagi semenjak adanya Perpu Anti-Terorisme, laporan intel boleh dipakai sebagai bukti permulaan untuk mengusut orang.
Wiranto sendiri merasa bahwa laporan tentang dirinya mengada-ada. Tujuannya ialah membuat dirinya tampak sebagai orang bermasalah. Ini adalah sejenis pembunuhan karakter, katanya. Dia tidak menyangkal bahwa dia punya kegiatan yang bisa digolongkan sebagai aktivitas politik. Dengan laporan seperti ini, dia dilucuti seperti petinju yang ditarik celananya ke bawah sebelum naik gelanggang.
Keluhan Wiranto ini sebaiknya disalurkan ketika Komisi I DPR memanggil Kepala BIN Hendropriyono dan keempat terlapor itu untuk menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi di luar laporan itu, memang Wiranto tidak sepenuhnya bebas dari masalah. Soal keterlibatannya, langsung atau tidak, dengan masalah kekerasan pam-swakarsa, Laskar Jihad, Front Pembela Islam, dan terutama tanggung jawabnya dalam peristiwa pembunuhan massal pada jajak pendapat Timor Timur, masih perlu diselesaikan dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo