Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
dalam doa bersama kumpulan umat
—Sitor Situmorang, "Cathedrale de Chartres"
Mungkin ia menginginkan keheningan. Tapi bisakah ia lepas ke dalam sunyi, menyingkir dari "doa bersama kumpulan umat", di dalam katedral dengan arsitektur gothis yang mengagumkan itu, tempat jemaat, peziarah, dan turis berdatangan? "Keagungan yang tanpa nama ini, keagungan di atas segala hal ini, rimba batu yang lebat dan tembang yang penuh cerita besar ini…"—Orson Welles menyanjung bangunan dari abad ke-12 itu, yang ia jadikan latar bagi film besar terakhirnya, F for Fake. Sang sineas hanyalah salah satu dari jutaan pengunjung yang terpesona.
Sungguh tak mudah untuk hening. Katedral dan gereja adalah ekspresi agama sebagai lembaga yang membentuk orang jadi umat. Umat adalah identitas yang tampaknya saja stabil, tapi sebenarnya bisa berubah-ubah—kadang-kadang sebagai sebuah persaudaraan, kadang-kadang sebuah kesatuan dalam pasukan, kadang-kadang sebagai sebuah kelimun. Sewaktu-waktu, kelimun, crowd, yang berkumpul tanpa bentuk yang jelas, bisa berubah jadi gerombolan, sebuah kolektivitas yang melahirkan energi. Apa pun bentuknya, di dalamnya, nasib bukanlah "kesunyian masing-masing", untuk memakai kalimat Chairil Anwar. Nasib, dalam kolektivitas itu, adalah derap sebuah parade, empasan sebaris gelombang.
Imaji yang tajam, ekstrem, dan mengejutkan tentang perubahan identitas umat itu kita temukan dalam sajak terkenal Rendra, "Khotbah".
Adegan: di suatu Minggu siang yang panas, di sebuah gereja yang penuh. Jemaat duduk berdesak, menatap ke arah mimbar. Seorang padri muda yang rupawan berdiri di sana, "matanya manis seperti mata kelinci", kedua tangannya "bersih dan halus bagai leli". Ia feminin, ia memikat.
Tapi ia juga hadir sebagai sebuah kontras di depan orang-orang yang berderet itu. Menghadapinya, jemaat pun berubah. Mereka bukan lagi sebuah persaudaraan, melainkan lebih seperti sebuah gerombolan. Sang padri makin tampak bukan bagian dari mereka, terutama ketika suaranya terdengar menginginkan misa itu batal, kumpulan itu mencair, tak terjadi. "Sekarang kita bubaran," katanya. "Hari ini khotbah tak ada."
Tapi orang-orang itu tak mau bergerak.
Mata mereka menatap bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
berhenti berdoa
tapi ingin benar mendengar.
Bagi orang banyak itu, doa tak lagi merupakan ekspresi ataupun keinginan. Doa yang khusyuk bertaut dengan hening. Orang-orang itu justru "ingin benar mendengar", menghendaki bunyi. Mereka bahkan membangun bunyi: "dengan serentak mereka mengesah".
Bunyi—bukan suara. Suara adalah sesuatu yang datang dari makhluk hidup dengan lapis-lapis kesadarannya. Bunyi datang dari zat dan benda-benda.
Tapi padri itu memahaminya lain. Orang-orang itu menginginkan "pedoman", demikian kesimpulannya, dan itu berarti memerlukan sebuah komunikasi antara kesadaran yang satu dan kesadaran yang lain. Kesalahan mereka, menurut padri itu, adalah tak mau mengaktifkan kesadaran mereka sendiri. Mereka "sekelompok serigala yang malas dan lapar".
Dan ia, yang melihat dirinya sebagai sang pemberi pedoman, tak punya banyak pilihan. Ia pun menyampaikan khotbah.
Tapi dengan demikian, ia sebenarnya menyerah. Ia mengikuti hasrat orang banyak itu. Ia tak lagi sebuah kontras nun di atas mimbar. Ia meleburkan diri ke dalam energi dalam kolektivitas itu. Berangsur-angsur, "pedoman" yang diberikannya berubah: dari suara menjadi suara yang bercampur aduk dengan bunyi.
Kepada kaum lelaki yang suka senapan
yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya
aku minta dicamkan
bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu.
Angkatlah hidungmu tinggi-tinggi
agar tak kaulihat siapa yang kaupijak.
Kerna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu.
Sajak ini, dengan suspens yang memukau, kemudian mengisahkan bagaimana orang banyak itu menyambut dan menirukan bunyi yang datang dari mulut sang padri. Suara mereka bersatu, sambil mengentakkan kaki ke lantai. Ra-ra-ra. Hum-pa-pa…, ketika sang padri menyatakan bahwa "kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra, ra-ra-ra, hum-pa-pa…".
Tak ada arti. Tak ada arahan. Tak ada pedoman.
Berangsur-angsur, bunyi dengan rima dan tekanan yang berulang-ulang itu memperoleh daya hipnotis, seperti tetabuhan yang membikin pemain kuda lumping trance dan memperoleh energi yang tak lazim. Sajak "Khotbah" diakhiri dengan sebuah communion yang radikal: gerombolan jemaat itu makin agresif. Mereka bergerak, mendesak, dan merusak gereja. Akhirnya, mereka mencincang dan memakan tubuh sang padri….
Fantastis. Rendra, dengan sajak ini, menghadirkan imaji-imaji yang brutal dari sebuah kekuatan yang destruktif: apa yang semula merupakan kontras akan segera lenyap. Sang padri yang lembut, yang ingin "kembali ke biara, merenungkan keinginan Ilahi", tak ada lagi. Ia, yang semula berdiri di mimbar untuk menegakkan peradaban dan kesadaran, luruh, dan jadi bagian dari orgy yang penuh nafsu, dinikmati dan menikmati, bersama umat yang dengan seketika berubah jadi puak serigala. Jadi kolektivitas yang ganas….
Ah, Tuhan. Tak bisa kita lagi bertemu
dalam doa bersama kumpulan umat.
(Di katedral tua itu, dalam keagungan yang tanpa nama itu, seperti dalam semua ruang dan waktu di mana Tuhan dimuliakan, seperti dalam tiap agama, orang sebenarnya bisa memilih: ia akan membiarkan diri lenyap dalam kekhusyukan yang tanpa-aku, atau akan meleburkan diri dalam kumpulan yang hingar, sebuah "kami" yang tanpa-aku.)
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo