Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP muncul ”krisis”, para petinggi negeri ini selalu berebutan memproduksi komentar, dari komentar yang masuk akal sampai komentar asal-asalan. Contohnya pada ”krisis” garam belakangan ini.
Seorang menteri koordinator mengatakan pemerintah harus meningkatkan produktivitas garam, antara lain dengan membangun gudang. Masya Allah. Dalam musim yang kacau-balau seperti belakangan ini, apa yang mau digudangkan? Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon—wilayah sentra produksi garam nasional—dari total luas lahan 3.010 hektare, produksi garam dalam tujuh bulan terakhir hanya 795 ton. Sepanjang tahun lalu, wilayah itu hanya menghasilkan 1.640 ton garam. Bandingkan dengan kebutuhan garam konsumsi nasional yang 1,5 juta ton.
Mungkin supaya tampak ”ilmiah”, ada pula yang meninjau masalah garam ini dari ”aspek teknologi”. Misalnya dengan menggunakan evaporizer, yang menghangatkan air laut dan mengubahnya menjadi garam. Tapi mesin ini tidak murah, memerlukan tenaga operator dan perawatan, serta—tentu saja—membutuhkan ketersediaan listrik. Pembeliannya secara massal juga pasti membuka peluang patgulipat yang akan berakhir di Komisi Pemberantasan Korupsi.
PT Garam (Persero) sebetulnya sudah mencoba sistem produksi ”rumah prisma” di area tambak satu hektare di Sumenep, Jawa Timur. Dengan sistem ini, produksi garam tetap bisa berjalan kendati di musim hujan. Tapi, lagi-lagi, kendalanya adalah biaya. Rumah prisma memerlukan biaya Rp 100 juta per satu hektare tambak. Untuk 3.010 hektare tambak garam di Cirebon saja, silakan menghitung berapa duit yang harus dikucurkan.
Sampai sejauh ini, yang masuk akal tampaknya adalah keputusan Menteri Perdagangan yang mengeluarkan izin impor 75 ribu ton garam dari Australia. Garam impor itu sudah masuk sejak awal bulan ini. Pemerintah sebaiknya tidak terlalu obsesif pada cita-cita swasembada—termasuk swasembada pangan. Jangan kejangkitan impor-phobia. Impor bukan dosa, sepanjang proses dan prosedurnya dikhidmatkan pada kemaslahatan orang ramai.
Bagaimana dengan ”meningkatkan kesejahteraan petani garam”? Kalau berani jujur, ini pun, sesungguhnya, tak lebih dari omong kosong. Sejak zaman baheula sampai zaman kiwari, tak pernah ada petani garam yang sejahtera. Lebih masuk akal mengalihkan mereka dari petani garam ke petambak ikan dan udang, mengingat terbuangnya berhektare-hektare lahan pesisir yang selama ini hanya digunakan untuk memproduksi garam—yang harganya selalu gurem itu.
Kini Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang menginisiasi penentuan harga pokok pembelian garam rakyat. Konon, penentuan ini diperlukan sebagai instrumen stabilitas harga garam di tingkat petambak sewaktu panen. Cita-cita ini terdengar mulia. Apalagi setiap rezim di negeri ini selalu menggunakan ”stabilitas” sebagai dalih untuk bertindak. Tapi bagaimana mau menstabilkan harga kalau barangnya memang tak ada? Obsesi ”stabilitas” ini juga sebaiknya ditinjau dengan akal yang sedikit sehat.
Pemerintah Presiden Joko Widodo sebaiknyalah memilih langkah-langkah sederhana untuk mencari jalan keluar dari sejumlah perkara yang sedang menggeluti negeri ini—termasuk perkara garam. Karena produksi garam rakyat terancam anomali cuaca—bahkan mungkin hingga beberapa dekade ke depan—alihkan saja ladang garam itu menjadi tambak ikan dan udang. Silakan mengimpor garam dari Australia atawa Cina, yang punya tambang-tambang garam yang makmur sehingga harganya pun murah sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo