Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Liburan Puasa: Apa Yang Dikejar ?

Beberapa pendapat sekitar pro dan kontra liburan puasa, Apa yang dikejar dan mengapa hal ini mengundang masalah. Terasa tidak ada kebijaksanaan jalan tengah atau kompromi. (kom)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA kurang mengerti alasan pemerintah dalam menetapkan tidak diliburkannya dalam bulan puasa sekolah-sekolah di Indonesia -- dengan memperbandingkan dengan negara-negara Arab. Entah kebetulan atau sengaja mengapa alasan seperti itu justru dikemukakan dalam hal-hal yang kurang berkenan di hati umat Islam Indonesia, seperti persoalan kasino dan nightclub yang dulu pernah dihubungkan dengan negara Arab Libanon -- yang pemerintahannya dipimpin seorang Kristen? Sebaliknya, dalam hal-hal yang dianggap positif bagi umat Islam di Indonesia, umat Islam selalu dihimbau untuk tidak terpengaruh oleh negara-negara Arab atau negara-negara Islam lain. Arab memang tidak identik dengan Islam. Bahkan dalam beberapa hal Islam di Indonesia perlu dicontoh oleh negara-negara Arab. Siapa tahu umat Islam Arab merasa iri terhadap umat Islam di Indonesia yang keadaan iklimnya memungkinkan untuk meliburkan sekolah setiap bulan puasa, berbeda dengan iklim di negara-negara Arab yang memaksakan liburan sekolah pada musim panas (shaif) selama tiga-bulan (Juni, Juli, Agustus) mengingat ketinggian temperatur di atas 40ø. Malahan saya lebih bisa mengerti alasan tidak diliburkannya sekolah di Indonesia pada bulan puasa dihubungkan dengan sekedar memberi kesempatan berziarah ke kuburan -- jika alasan tersebut dikemukakan oleh orang yang faham Islamnya masih sesempit itu. Kekhawatiran saya, cara-cara seperti ini (mencontoh Arab) hanya akan mengundang umat Islam ikut-ikut lari ke negara-negara Arab dalam hal-hal yang kurang berkenan di hati pemerintah. Lebih berbahaya jika sampai lari ke Iran, yang jaraknya lebih dekat. Saya juga kurang tahu, di bawah wewenang siapakah sebenarnya ketetapan liburan bulan puasa: Menteri P dan K atau Menteri Agama atau kedua-duanya. Dilihat dari liburan sekolahnya, memang Menteri P dan K. Tapi dilihat bulan puasanya, saya rasa ada hubungannya dengan Kementerian Agama. Barangkali, kalau keputusan tersebut merupakan keputusan bersama Menteri P dan K dan Menteri Agama, atau setidak-tidaknya tercermin keterlibatan Menteri Agama, saya tidak perlu menulis seperti ini. A. HAMBALI MAKSUM Cornelis Houtmanstraat 66, Den Haag, Holland. Sebaiknya Tuan Pastor drs. J.C. Tarunasayoga (Komentar TEMPO 16 Juni) jangan ikut-ikut ngomonglah. Sebab saya kira bukan sekedar soal puasa itu sendiri yang menjadi masalah. Setidak-tidaknya suatu kaitan dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Tetapi maaf Tuan Pastor, saya tidak ingin "perang pena". Hormat saya! Izinkan saya meng-appeal Menteri P & K, barangkali ada manfaatnya. Sekitar 1970/71 s/d 73/74, saya menjadi guru honor di SMA Negeri Donggala -- mengajar 3-4 mata pelajaran al. fisika, matematika dan sejarah, di samping tugas Dewan Guru sebagai Bagian Keamanan (karena kenakalan anak-anak) dan penghubung informil dengan wali murid. Alhamdulillah sejak priode saya itu SMA Negeri tersebut mulai agak baikan terutama prosentase jumlah lulus. Murid saya banyak yang cerdas. Anehnya, justru yang cerdas itu kebanyakan yang nakal dan tidak menghiraukan peraturan sekolah (misalnya nonton bukan pada malam minggu) dan melanggar peraturan orangtua (misalnya bagadang). Sedikit yang "alim" -- tentu mereka inilah yang selalu dijadikan "model" oleh guru-guru. Berkenaan dengan Kebijaksanaan Menteri P & K tersebut, saya rada pesimis: "yang dikejar belum tentu dapat, yang dikandung pun belum tahu apa!" Nampaknya untuk mengejar keterbelakangan kita, di bidang ilmu pengetahuan waktulah yang menjadi kambing hitam. Padahal dengan tidak mengecilkan yang lain, banyak guru tidak mampu menterapkan pedoman kurikulum P&K kepada anak didiknya, melalui dirinya Contoh: SMA Pas-Pal masih terbagi dua. Ada bagian yang mempelajari fisika menitikberatkan teori/dalil. Ada bagian yang menitikberatkan hitungan. Seorang guru yang tidak tepat mengenal pembagian ini di sekolahnya, bisa terjadi penyilangan. Akibatnya murid juga yang korban. Ini terus terang berujung suatu kritik, bahwa justru IKlP/sederajat sebagai produsen (yang lalu itu) ternyata sedikit berhasil melahirkan calon guru yang ideal. Bahkan "keadaan" yang kita lahirkan bersama sangat tidak memungkinkan munculnya guru-guru ideal itu. Untuk mengejar keterbelakangan kita, menurut hemat saya yang penting meningkatkan ketrampilan secara pribadi calon-calon guru kita, terutama akhlak sebagai pendidik. Tetapi tidak kalah pentingnya sikap kita semua terhadap pendidikan, termasuk kesejahteraan moril-materil guru. Apa yang kita capai selama Pelita I/II memang menggembirakan. Tetapi pergilah ke desa: akan mudah dibandingkan sarana dan fasilitas pendidikan di zaman penjajahan (Belanda) -- masih lebih tertib kalau tidak bisa dikatakan baik. Rupanya pendidikan ini memerlukan sekali ketertiban. Jauh-jauh kita meraih, bisa titian patah di bawah. Entah siapa pula yang hancur. Apa sebenarnya yang kita kejar? A. MANSOER (Alamat pada Redaksi).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus