Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Lindungi KPK dari Teror

Aksi teror di rumah dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu dinihari lalu, seharusnya tak boleh terjadi.

11 Januari 2019 | 07.00 WIB

Wadah Pegawai KPK memutar video CCTV yang merekam teror bom di penyidik KPK, Afief Yulian Miftach, Rabu, 9 Januari 2019. ROSENNO AJI
Perbesar
Wadah Pegawai KPK memutar video CCTV yang merekam teror bom di penyidik KPK, Afief Yulian Miftach, Rabu, 9 Januari 2019. ROSENNO AJI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Aksi teror di rumah dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu dinihari lalu, seharusnya tak boleh terjadi. Polisi yang bertugas menjaga kediaman Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Laode Muhammad Syarif jelas lalai melaksanakan tugasnya. Beruntung bom molotov dan bom pipa yang dipasang di rumah Agus dan Laode tak sampai meledak dan menimbulkan korban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Kini pelaku teror itu tengah dikejar aparat penegak hukum. Jika kelak pelaku tertangkap, jaksa wajib menuntutnya dengan hukuman seberat mungkin. Ini penting agar ada efek jera buat mereka yang coba-coba mengganggu KPK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketidakmampuan polisi mengantisipasi aksi teror di rumah pimpinan KPK sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Sampai sekarang polisi juga masih gagal menyelidiki sembilan insiden sebelumnya ketika staf KPK menjadi korban kriminalisasi. Rupa-rupa teror yang dialami staf KPK, dari perampokan alat kerja sampai penyerangan fisik, semua tak diusut tuntas. Pendeknya, tak ada satu pun aksi teror terhadap KPK yang berhasil dibongkar. Ini faktor penting yang memicu terus bermunculannya teror baru.

Aksi teror pada April 2017 merupakan contoh nyata. Ketika itu penyidik senior KPK, Novel Baswedan, disiram dengan air keras oleh dua orang tak dikenal setelah menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya. Sampai saat ini-hampir dua tahun sejak kasus ini terjadi- ada kesan polisi justru sengaja membiarkan aksi teror itu agar tidak terungkap.

Karena itu, kini saat yang tepat untuk Presiden Joko Widodo bersikap. Dia bisa membentuk tim independen pencari fakta untuk mengungkap siapa di balik kasus penganiayaan Novel. Fakta-fakta yang terungkap sejauh ini sudah cukup sebagai bukti awal. Ada saksi, cangkir bekas air keras, juga rekaman video pengawas. Polisi bahkan telah membuat dan menyebarkan sketsa pelaku.

Selain itu, pengamanan terhadap penyidik dan pimpinan KPK mesti diperketat. Lembaga antirasuah ini harus meninjau kembali dan memperbaiki berbagai prosedur sekuriti terhadap kantor, pegawai, serta penyidik dan pimpinan. Berkaca pada teror yang terus terjadi, kalau perlu, pimpinan dan para penyidik utama KPK mendapat pengawalan.

Ada baiknya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memikirkan rancangan undang-undang yang memastikan perlindungan terhadap penyidik dan pimpinan KPK. Sebagaimana Undang-Undang Terorisme mewajibkan negara menjamin keselamatan aparat hukum dalam perkara tindak pidana terorisme, perlindungan serupa perlu diberikan kepada petugas antikorupsi. Ini tentu jika semua orang sepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Serangan terhadap petugas antikorupsi dengan sendirinya merupakan sikap antidemokrasi dan pendorong kejahatan kemanusiaan.

Ke depan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian harus memastikan anak buahnya tak lagi kecolongan. Personel tim pengamanan dari polisi harus ditambah. Penjagaan polisi atas rumah pimpinan KPK juga harus diperketat. Upaya-upaya melancarkan aksi teror serupa harus dicegah sebelum terlambat. Serangan sekecil apa pun atas pimpinan KPK dan jajarannya tak boleh sampai terjadi lagi.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus