Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Listrik dalam Relasi Kuasa Kolonial di Surakarta

Buku Jejak Listrik di Tanah Raja berhasil menampilkan sebuah dinamika sejarah lokal dari teknologi listrik dengan dimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Catatan yang ditulis Eko Sulistyo ini bisa dianggap sebagai pelopor dalam tema sejarah listrik.

13 November 2021 | 17.10 WIB

Ilustrasi buku Jejak Listrik di Tanah Raja karya Eko Sulistyo
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi buku Jejak Listrik di Tanah Raja karya Eko Sulistyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Judul Buku: Jejak Listrik Di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957

Penulis: Eko Sulistyo

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun: cetakan pertama , November 2021

Halaman: Xiii + 278

Penemuan listrik telah mentransformasikan umat manusia secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Listrik  juga mempermudah kehidupan manusia menjadi lebih nyaman dan berkualitas. Sekarang ini , nyaris semua kehidupan manusia berkait dengan listrik. Karena itu listik dapat dikatakan sebagai teknologi yang menjadi lokomotif peradaban. 

Sejarah perlistrikan menjadi tema yang remang-remang dalam  penulisan sejarah di Indonesia. Dalam keremangan sejarah tersebut, muncul sedikit cahaya terang dengan terbitnya buku karya Eko Sulistyo berjudul Jejak Listrik Di Tanah Raja; Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957. Buku ini hasil sebuah riset luar biasa dan penuh ketekunan mencari dan membaca arsip yang lalu dijadikan pondasi untuk merekonstruksi sejarah listrik dan transformasi yang diciptakannya dalam kehidupan di Surakarta.

Buku ini, selain kaya dengan data dari sumber-sember lokal, juga menggambarkan bagaimana relasi kuasa ekonomi-politik dibalik pembangunan pembangkit listrik di Surakarta sejak awal abad ke 20. Seperti dikatakan oleh penulis buku bahwa  teknologi listrik, ”Dibawa para kolonialis utuk menggerakan ekonomi dan menerangi tanah jajahan.”

Masuknya listrik melalui kolonialisme, sekaligus membawa relasi kuasa antara penjajah dengan negeri dan rakyat terjajah pada awal abad ke 20 di Surakarta. Seperti dikatakan penulis bahwa perkembangan teknologi listrik tidak dapat dipisahkan dari sudut politik (hlm. 245).

Dari narasi yang kaya dalam buku ini secara tersirat dapat kita baca  beberapa relasi kuasa  ekonomi-politik dalam negeri  kolonial terkait dengan perkembangan listrik di Surakarta. 

Jejak Listrik di Tanah Raja karya Eko Sulistyo

Pertama, listrik dibangun diberbagai wilayah sebagai infrastruktur untuk mendukung eksploitasi sumber daya alam negeri jajahan sebagai sumber komoditi yang laku di pasaran dunia. Bila kita lihat pembangkit listrik yang dibangun di Surakarta, maka jelas tidak dapat dipisahkan dengan perkebunan dan pabrik gula di sekitarnya. Di Surakarta Mangkunegaran memilik pabrik gula Colomadu, salah satu yang terbesar saat itu dan menjadi komoditi yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi perusahan dan pihak Mangkunegaran. Gula merupakan sumber devisa utama pemerintah kolonial. 

Kedua, listrik pada periode awal di Surakarta lebih dinikmati oleh kelompok elit secara ekonomi dan politik. Seperti dikatakan dalam buku bahwa konsumen utama listrik di Surakarta adalah kalangan elit pribumi, bangsa asing, hingga kelompok pengusaha. Ketidakadilan tersebut oleh penulis ditunjukkan melalui redaktur Kejawen yang menyoroti teknologi listrik yang dinikmati kalangan elit di Surakarta dalam rumahnya yang megah penuh penerangan listrik yang justru sulit digapai oleh rakyat biasa (hlm. 147). Gagasan istana Mangkunegaran agar listrik bisa digunakan seluas mungkin oleh rakyat Surakarta dengan membangun pembangkit listrik sendiri yang dikelola oleh Mangkunegaran ditolak perusahaan listrik kolonial Solosche Electricitiet Maatschappij (SEM)  yang menerapkan tariff yang tinggi untuk pemasangan listrik (hlm. 138).

Ketiga, listrik juga berkait dengan idiologi rust en orde dari pemerintah kolonial, yaitu untuk menciptakan penerangan guna mengatasi tindak kriminal. Menurut penulis Solo  yang benderang di malam hari sanggup mengubah keadaan dan mengurangi tindak kriminalitas sebagaimana digambarkan oleh majalah Kejawen. Namun, masalahnya, dimata penguasa kolonialis yang rasialis, semua pribumi adalah potensial menjadi kriminal. Listrik juga mempermudah pengawasan oleh militer di benteng prajurit Vastenburg. Penerangan di benteng militer menurut penulis buku akan mengingatkan kita bahwa keberadaan benteng kolonial Belanda ditujukan untuk mengawasi setiap gerak gerik bangsawan di dalam istana dan masyarakat Surakarta (hlm. 152).

Keempat, listrik berkait dengan monopoli sumber energi strategis, yang hanya boleh dikuasai secara teknologi dan bisnis oleh pemerintah kolonial dan swasta pro kolonial. Perusahaan  terbesar yang mengelola pembangkit dan jaringan listrik di Hindia Belanda adalah Algameene Nederlandsch Indische Electriciteits Maatschapiij  (ANIEM).Di Hindia Belanda golongan pribumi, meskipun secara finansial mampu akan dihalangi untuk memiliki dan mengelola pembangkitnya sendiri. Suatu saat pihak Mangkunegaran punya gagasan untuk membangun pembangkit listrik sendiri, lepas dari monopoli perusahaan yang dikontrol pemerintah dan swasta kolonial. Upaya ini ditolak oleh pemerintah kolonial. Ditulis dalam buku bahwa “Gagasan penguasa istana Mangkunegara untuk mendirikan pembangkit listrik sendiri ditentang habis-habisan oleh pemerintah Belanda dengan argumen hukum bisnis yang berlaku di Eropa (hlm. 137).

Namun dibalik relasi kuasa ekonomi-politik kolonial, energi listrik juga membawa transformasi sosial-budaya bagi masyarakat perkotaan di Surakarta. Listrik telah menghidupkan seni hiburan yang dapat dinikmati secara luas oleh masyarakat. Listrik menggairahkan  dunia hiburan diruang publik siang dan malam.  Di Surakarta poros kesenian publik adalah Taman Sriwedari dan alun-alun dimana disini dipentaskan wayang orang, pertunjukan bioskop, ludruk, ketoprak dan stambul. Bahkan, berkat listrik pertandingan sepakbola bisa dilakukan di malam hari. Malam yang tadinya identik dengan gelap dan sepi, kini menjadi benderang dan ramai. Kota pun menggeliat siang dan malam. 

Pertunjukan seni dan hiburan  juga merubuhkan sekat rasial kolonial  yang membagi stratifikasi masyarakat berdasarkan ras. Di sekitar taman Sriwedari dan alun-alun muncul para pedagang dan para pengunjung lintas bangsa dari pribumi, Cina, Jepang, Arab hingga Belanda. Penonton pertunjukan film di bioskop juga ramai  dan menjadi tontonan anyar di jamannya. Fenomena listrik ini juga masuk menjadi bagian dalam kesenian tradisional seperti tembang jawa karena listrik dianggap sebagai sesuatu yang baru di negeri koloni Hindia Belanda (hlm. 247).

Jaman  listrik Hindia Belanda  berakhir dengan  didudukinya Hindia Belanda oleh militer Jepang pada 8 Maret 1942. Perusahaan listrik yang dikelola orang Belanda pindah tangan dikelola penguasa militer Jepang. Bagi Jepang jaringan listrik merupakan sarana vital yang harus dikendalikan  untuk mendukung perang di Pasifik. Di bawah kendali Jepang tidak banyak terjadi perkembangan dalam sektor pelistrikan dan gas, bahkan sebagian infrastruktur dan jaringan mengalami kerusakan karena kurangnya perawatan. Maklum konsentrasi pemerintahan militer Jepang adalah memenangkan perang dunia, bukan mengembangkan infrastruktur negeri jajahan. 

Pada 15  Agustus Jepang menyerah pada sekutu. Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pemuda dan buruh listrik merebut dan menduduki kantor pengelola listrik Jepang dan mengambil alih pengelolaan dari Jepang. Para buruh listrik lalu bertemu dengan ketua Komite Nasional Indonesia Mr. Kasman Singodimejo. Perwakilan buruh dan ketua KNI lalu menghadap Presiden Sukarno. Pada 27 oktober 1945 Presiden Sukarno membentuk Jawatan Listrik dan Gas Bumi di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.

Pada tahun 1953  dibentuk Panitia Nasionalisasi Listrik. Presiden Sukarno lalu menerbitkan Surat Keputusan No 163 Tahun 1953  mengenai nasionalisasi seluruh perusahaan listrik di Indonesia. ANIEM sebagai perusahaan listrik terbesar yang dimiliki Belanda pada November 1954 dinyatakan menjadi milik pemerintah Indonesia. Pada tahun 1959 berbagai perusahaan listrik yang tersebar disatukan menjadi perusahaan negara bernama Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di Surakarta, perusahan listrik Solosche Electricitiet Maatschappij (SEM) juga dinasionalisasi  menjadi Perusahaan Listrik Negara Solo. 

Akhirnya, buku ini menjadi penting, karena sedikitnya tema sejarah tentang perkembangan listrik di Indonesia. Kalau pun ada maka penulisan sejarah listrik lebih pada aspek teknologi atau  pengelolaan perusahaan listrik. Buku karya Eko Sulistyo berhasil menampilkan sebuah dinamika sejarah lokal dari teknologi listrik dengan dimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Buku ini bisa dianggap sebagai pelopor dalam tema sejarah listrik. Semoga akan lahir karya-karya baru dengan tema listrik dalam penulisan sejarah Indonesia. 

Depok 12 November 2021

Penulis Alumnus  Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, menulis buku sejarah antara lain Orang dan Partai Nazi di Indonesia dan Sukarno, PKI dan Fasis Orba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus