Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

London Terguncang

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

London terguncang menghadapi bom-bom yang meledakkan sistem transportasi publiknya. Kota tua itu punya trauma yang panjang terhadap teror yang menggetarkan, tapi juga terbukti punya daya tahan yang tinggi. Lebih dari setengah abad silam, generasi 1940-an melihat sejumlah pesawat tempur Nazi muncul di langit kota itu, seraya menyebar bom di atas sasaran militer dan sipil. Juga serangan roket V-2 yang membabi buta. Lalu, yang lebih kontemporer, gelombang teror yang dibawakan kelompok pembebasan Irlandia Utara, IRA, pada 1970-an hingga awal 1990-an.

Kini kita menyaksikan lagi hal-hal menyusul sebuah teror: angka kematian yang berderap naik—sumber resmi menyebut 37 orang tewas pada hari pertama (7 Juli), kemudian menjadi di atas 50 orang pada hari kedua (8 Juli), dan entah keesokan harinya. Tapi, dari teror abad ke-21—di New York empat tahun lalu dan di Madrid tahun lalu—mungkin kita bisa memetik kesimpulan: ada faktor menentukan di luar faktor destruktif dari bom itu sendiri. Angka korban di New York tidak akan setinggi 2.752 orang seandainya menara kembar World Trade Center tidak meleleh, lantas ambruk. Dan angka kematian di Madrid tentu akan di atas 191 orang jika atap-atap stasiun ikut runtuh akibat ledakan.

London terguncang, tapi hidupnya tidak berhenti di situ. Perdana Menteri Inggris sendiri, Tony Blair, sudah menyerukan perlawanan massal: teror tak akan mengubah aktivitas warga. Ya, kota adalah sebuah organisme, sesuatu yang berdenyut, bergerak, dan berusaha menampik kematian. Madrid—juga New York—menunjukkan gejala itu. Hidup berjalan seperti biasa, tapi di manakah para teroris itu sekarang? Kita mungkin tak tahu jawabnya. Yang kita tahu, sebuah koreksi dibutuhkan. Afganistan dan Irak adalah dua negeri yang diyakini sebagai habitat para teroris, dan serangan telak kepada keduanya akan—ini menurut ungkapan Presiden George W. Bush—"membuat dunia ini tempat tinggal yang lebih aman."

Tapi rupanya dunia tidak bergerak sesuai dengan jalan pikiran George W. Bush beserta sekutu terdekatnya, Perdana Menteri Tony Blair. Sesungguhnya, setelah New York, Washington DC, dan Pennsylvania disambar teror, 11 September 2001, kita sempat menyaksikan suatu panorama menarik: sementara dua negeri di atas digempur habis, kota-kota di Barat tidak tersentuh teror. Dengan kata lain, kekuatan gabungan Amerika Serikat-Inggris telah berhasil memindahkan medan perang melawan terorisme itu dari pekarangan sendiri ke pekarangan rumah orang lain. Namun kondisi ini ternyata tak panjang umur. Pada 11 Maret 2004 bom meledakkan empat kereta api komuter di Madrid, dan terakhir, 7 Juli 2005, selagi serdadu Amerika dan Inggris masih berusaha menebar kedamaian di Afganistan dan Irak, teror yang sama menghajar London.

Kelompok yang menyebut dirinya jaringan Al-Qaidah Eropa mengklaim tanggung jawab. Tapi kita tahu, Tony Blair memilih menggerakkan kekuatan intelijennya ketimbang mengarahkan telunjuk kepada organisasi yang dibangun Usamah bin Ladin itu. Blair ekstra-hati-hati. Dukungan terhadap pemerintah konservatif Partai Rakyat di Spanyol anjlok setelah serta-merta mereka menuding kelompok separatis Basque (ETA) di balik aksi itu—sesuatu yang terbukti salah. Ya, lolos dari ujian pertama, kini Blair menghadapi ujian kedua: bagaimana ia mematahkan ancaman teror tanpa memicu rasisme di dalam negerinya?

Teror, dengan segala kejahatannya, juga diketahui memiliki sisi "baik". Teror merupakan "musuh bersama" yang bakal menyatukan bangsa Inggris. Tapi rasisme mungkin muncul sebagai salah satu gejala dari bangsa yang terpaksa bersatu lantaran rasa takut itu.

Kini minoritas muslim Inggris yang berada dalam posisi terjepit. Kendati bom yang diledakkan di tempat publik itu buta alias tak dapat membedakan siapa yang masuk sasaran sipil dan sasaran militer, kawan dan lawan, muslim atau bukan, ia telah mengobarkan sentimen antimuslim.

Ini suasana yang mengkhawatirkan tapi bukan tanpa harapan sama sekali. London pernah diguncang bom Jerman dan Irlandia, tapi ketiga bangsa itu kini berkawan. Kita berharap hal serupa dapat terulang di masa depan, antara London dan komunitas Islam dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus