Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian seharusnya tidak bermain api dalam konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit seperti yang terjadi Pulau Laut Tengah, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Polisi tak boleh memihak perusahaan, apalagi sampai diperalat untuk mengintimidasi masyarakat setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi sudah kebablasan ketika memanggil dan mencari-cari tokoh warga setempat yang berdemonstrasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Selatan. Petani Pulau Laut Tengah itu berunjuk rasa demi mempertahankan hidup dan mata pencarian yang terancam oleh kehadiran PT Multi Sarana Agro Mandiri. Sepanjang tidak anarkistis, demonstrasi bukanlah pelanggaran hukum. Unjuk rasa merupakan cara menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap penegak hukum juga terlihat sewenang-wenang ketika menahan M. Yusuf, wartawan media online Kemajuanrakyat.com, yang memberitakan protes warga. Polisi seharusnya tidak menutup mata bahwa pekerjaan wartawan untuk mencari dan menyebarluaskan informasi dijamin undang-undang, bahkan konstitusi.
Jika ada pemberitaan yang keliru atau kurang berimbang, bukan wewenang polisi untuk menilai, apalagi mengusutnya. Aspek jurnalistik merupakan urusan organisasi profesi wartawan dan Dewan Pers. Lain cerita bila si wartawan memakai medianya untuk memeras. Itu tindak pidana yang memang harus diproses secara hukum.
Faktanya, polisi menjerat wartawan tersebut dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penegak hukum menggunakan pasal tentang pencemaran nama dan pasal mengenai penyebaran kebencian dalam undang-undang ini. Pemakaian pasal itu untuk menjebloskan wartawan ke penjara amatlah sewenang-wenang sekaligus mengancam kebebasan pers.
Aturan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik itu sudah sering dipersoalkan karena mudah disalahgunakan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, aturan serupa masuk kategori pasal karet, yakni aturan yang mulur-mengkeret, multitafsir, dan banyak memakan korban. Ironisnya, dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ancaman hukuman pasal pencemaran nama dan penyebaran kebencian malah lebih berat: empat tahun penjara.
Di negara maju yang demokratis, kasus penghinaan tidak lagi dibawa ke ranah pidana. Mereka yang merasa namanya dicemarkan memang bisa menggugat ke jalur perdata. Tapi itu pun tak mudah. Ada sejumlah syarat yang mesti terpenuhi, antara lain yang menggugat harus individu, bukan lembaga. Gugatan gugur dengan sendirinya bila yang dituduhkan benar adanya. Kalaupun tuduhannya keliru, harus terbukti bahwa yang menuduh punya iktikad buruk, misalnya sengaja menyebarkan informasi yang diketahui palsu atau tak berupaya mengecek kebenarannya.
Pemakaian pasal penghinaan dalam konflik pertanahan jelas tidak tepat. Polisi seharusnya belajar dari kasus-kasus konflik agraria. Pendekatan hukum semata malah sering membuat konflik kian berkobar. Karena itu, mumpung belum terlambat, pimpinan Kepolisian RI harus mengoreksi kekeliruan aparat di bawahnya. Kepolisian harus segera menghentikan pemanggilan warga Pulau Laut Tengah dan membebaskan jurnalis dari tahanan.
Pemerintah dan aparat penegak hukum sebaiknya memfasilitasi dialog warga dengan perusahaan untuk mencari solusi jangka panjang. Melibatkan warga mengelola kebun sawit bersama perusahaan akan lebih bermanfaat ketimbang mengusir mereka dari lahan yang sudah digarap selama puluhan tahun.