Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN pemerintah membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak jenis Premium beberapa saat setelah mengumumkan untuk menaikkannya pada Rabu pekan lalu memperlihatkan proses pengambilan kebijakan yang buruk. Keyakinan pasar terhadap Indonesia bisa tergerus. Pasar dapat menganggap inkonsistensi tersebut sebagai ketidakmampuan pemerintah mengambil kebijakan dalam situasi yang gawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menaikkan harga bahan bakar minyak adalah salah satu langkah yang harus ditempuh untuk menyelamatkan neraca transaksi berjalan. Bank Indonesia menyebutkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II mencapai 3 persen dari produk domestik bruto dan diperkirakan belum turun pada kuartal III. Ini mengkhawatirkan karena, makin lebar defisit, makin besar dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap perekonomian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah seharusnya berani menaikkan harga bahan bakar minyak demi mengurangi defisit tersebut. Badan Pusat Statistik memaparkan neraca ekspor-impor Indonesia pada Agustus 2018 minus US$ 1,02 miliar. Biangnya adalah tekor di sektor minyak dan gas sebesar US$ 1,6 miliar. Tahun ini, sejak Januari hingga Agustus, minus dalam perdagangan minyak dan gas menyebabkan neraca defisit US$ 4,09 miliar.
Angka itu akan makin menganga seiring dengan terus naiknya harga minyak mentah di pasar dunia. Pekan lalu, harga minyak mentah Brent, salah satu yang jadi acuan, mencapai US$ 84,16. Kondisi makin berat lantaran nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus terbanting. Dalam sepekan terakhir, kurs rupiah menembus 15.000 per dolar Amerika. Padahal, dalam bujet negara, pemerintah mematok asumsi harga minyak US$ 48 per barel dengan kurs Rp 13.400 per dolar Amerika.
Konsumsi minyak yang jomplang dengan produksi mau tak mau menyebabkan tingginya impor. Kenaikan harga bahan bakar minyak bisa menekan kebutuhan impor migas sekaligus mengurangi subsidi. Pemerintah sudah bertindak tepat ketika menyetujui kenaikan harga Pertamax Series, Dex Series, dan biodiesel non-public service obligation. Tapi menaikkan harga bahan bakar nonsubsidi itu saja belum cukup.
Pemerintah semestinya menaikkan juga harga Premium, bahan bakar khusus penugasan; dan Pertalite, juga bahan bakar nonsubsidi. Selisih harga keekonomian Premium, misalnya, dengan harga jual terlalu jauh. Harga Premium sebenarnya sekitar Rp 8.600, sementara Pertamina menjualnya Rp 6.550 di Jawa, Madura, dan Bali. Di luar daerah itu, harganya Rp 6.450.
Selisih harga keekonomian BBM khusus penugasan dengan harga jual eceran itulah yang harus ditanggung Pertamina. Badan Pemeriksa Keuangan memaparkan, tahun lalu angkanya mencapai Rp 26,3 triliun. Pemerintah memang menutup kerugian itu dengan cara mencicilnya pada tahun ini. Tapi, seperti lingkaran setan, utang subsidi itu akan timbul lagi dan makin besar karena Pertamina terus-menerus menanggung selisih harga.
Sulit untuk tidak mengaitkan keputusan pemerintah membatalkan kenaikan harga Premium dengan kepentingan elektoral inkumben. Presiden Joko Widodo semestinya tak perlu risau akan elektabilitasnya. Survei Saiful Mujani Research & Consulting enam bulan menjelang pemilihan umum menunjukkan tingkat keterpilihan Jokowi bersama calon wakil presiden Ma’ruf Amin mencapai 60,4 persen. Ini seharusnya menambah keberanian Jokowi dalam mengambil kebijakan tak populer tapi penting untuk menyehatkan perekonomian.
Keragu-raguan tak akan menolong kurs, perekonomian, dan Pertamina. Apalagi sikap plinplan tersebut ditunjukkan di tengah pertemuan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia di Bali, saat mata seluruh dunia sedang tertuju ke Indonesia. Jika pelaku pasar berharap pemimpin Indonesia bisa mengambil kebijakan rasional dan sangat perlu untuk memperbaiki keadaan, mereka akan kecewa.