Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKNA peta dalam makna awalnya sudah makin hilang. Bukan lemanya lenyap dari kamus, melainkan makna denotatifnya yang makin terlupakan. Lema itu tersingkir dalam perubahan zaman, yang ditopang kemajuan teknologi, media sosial, hingga jurnalistik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari kita simak judul-judul berita berikut ini: (1) “Berubah Peta Setelah Debat Terbuka” (Koran Tempo, 11 Januari 2024), (2) “Pengusaha Siapkan Peta Ekonomi buat Prabowo, Nilai Regenerasi Perlu” (Kumparan, 11 April 2024), dan (3) “Peta Politik Diyakini Berubah Setelah Putusan MK” (Kompas, 18 April 2024).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI daring, peta diartikan sebagai “gambar atau lukisan pada kertas dan sebagainya yang menunjukkan letak tanah, laut, sungai, gunung, dan sebagainya; representasi melalui gambar dari suatu daerah yang menyatakan sifat, seperti batas daerah, sifat permukaan; denah”. Makna peta yang dalam tiga judul berita di atas tidak mengacu pada pengertian ini. Dengan kata lain, ada makna berbeda yang secara kebudayaan terbentuk dan dibebankan pada lema tersebut. Ia menjadi sesuatu yang lain atau malah membentuk makna baru.
Setidaknya, pada 1990-an hingga awal 2000-an, peta masih penting. Di beberapa sudut sekolah, seperti ruang kelas, ruang guru, dan kantor kepala sekolah, selalu tergantung peta wilayah Indonesia. Para guru juga lazim mewajibkan murid-murid meminjam buku atlas di perpustakaan. Buku atlas merekam peta berbagai negara, benua, dan pulau.
Dalam lanskap militer, pernah muncul buku tipis berjudul Tuntunan dalam Peladjaran Membatja Peta dan Ilmu-Medan yang diterbitkan Staf Umum Angkatan Darat Kementerian Pertahanan pada 1952. Buku tersebut menyatakan, “Oleh sebab itu penting, bahwa tiap2 warga tentara dilatih dalam membatja peta.” Dalam hal ini, peta berurusan dengan politik pertahanan dan stabilitas negara.
Pada sejarah yang lebih tua, para penjelajah lautan berlayar dengan bermodalkan peta. Pengetahuan mengenai peta menjadi bekal berharga dalam perjalanan. Itu sebabnya, anggota Pramuka dan pencinta alam belajar membaca peta. Yang paling menantang tentu bagaimana membaca “peta buta”, peta tanpa keterangan apa-apa.
Sejak hiruk-pikuk teknologi digital, pengetahuan konvensional mengenai peta mulai surut. Orang-orang masa kini memang masih menggunakan peta, tapi dalam format digital, yang prosedurnya tentu sangatlah berbeda dengan masa lalu.
Bersamaan dengan itu, makna peta pun berkembang, seperti tampak dari contoh tiga judul berita di atas. Para birokrat juga menggunakan istilah peta, tapi secara berbeda, misalnya dalam dokumen Kebijakan Laut Indonesia yang dirilis Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia pada 2017 yang memunculkan tajuk “Peta Jalan Kebijakan Kelautan Indonesia Menuju Poros Maritim Indonesia”. Pada 2023, Kamar Dagang dan Industri Indonesia meluncurkan buku Peta Jalan Indonesia Emas 2045: Membangun Masa Depan Indonesia, Mulai Hari Ini. Pada tahun yang sama, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menerbitkan buku Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia.
Frasa peta jalan pada dokumen itu tak lagi merujuk pada peta yang dulu digantung di dinding sekolah. Peta tidak lagi bermakna sebuah tempat ataupun batas daerah, tapi sebuah gagasan. Yang masih sama barangkali adalah bahwa ia menunjukkan posisi sesuatu dalam suatu area tertentu yang abstrak. Dalam Oxford Advanced Learner's Dictionary, maknanya lebih dekat dengan definisi peta sebagai “sebuah diagram untuk menunjukkan posisi benda-benda di suatu area” dengan contoh “peta kerapatan elektron” dan “peta fisik dan genetik seluruh genom manusia”. Dari semula menunjukkan tempat, kini peta menjadi abstraksi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Evolusi Peta"