Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota ini seperti tak terbiasa juga dengan dingin, dengan malam, meskipun berabad-abad ia berdiri, setengah lelah. Gedung-gedung menanggungkan musim tak putus-putusnya, tapi juga di ujung Desember ini ada yang terasa mengkeret oleh cuaca; plasa, taman, boulevard, juga pasar yang tadi siang terhampar. Hujan menjatuhkan ujungnya yang tajam, kerap, dingin. Dari beberapa sudut, lampu jalan—masing-masing seperti bersendiri—adalah cahaya yang kuyup. Angin mengaum. Kita mendengar derunya lewat di antara celah yang terbentuk oleh bangunan tinggi.
Tak ada orang di jalanan. Semakin larut malam, semakin tampak aspal dan semen bertambah datar. Mobil melintas satu-satu, seperti terpaksa. Trem, bahkan dengan derak roda di rel, jadi bagian dari sunyi yang tak dikehendaki.
Kota ini seperti tak terbiasa juga dengan malam… Tapi benarkah? Tiap kota mengandung paras yang pura-pura. Tiap kota punya wajah yang hanya kita ingat ketika gelap, hujan, dingin, Desember, datang. Tiap kota adalah ruang scene dan ob-scene: ada yang dipertontonkan, ada yang disingkirkan seperti najis. Gelandangan yang merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam yang merasa sial. Pelacur yang terhalau. Bajingan yang selamanya siap. Di sebelah lain dari poster iklan Gucci yang dipasang di halte-halte, mungkin ada anak kecil penjual korek api dari cerita Andersen, seorang bocah lapar yang mencoba melawan beku, di sebuah hari Natal, dengan menyalakan batang-batang geretan satu demi satu, sampai habis. Kita tahu ia akan mati, tak tampak.
Yang tak tampak selalu hendak dikalahkan oleh yang tampak. Pada tahun 1746, di Prancis lampu-lampu mulai dipasang, dan seseorang menulis dengan gegap-gempita bagaikan statemen seorang penakluk: ”Kekuasaan malam akhirnya selesai”. Tapi bahkan sampai tahun 1760 seorang pejabat Kota Paris masih menggerutu tentang perilaku ”perempuan yang bejat, serdadu, pengemis, dan… maling”—yakni mereka yang tetap merayap di kedai-kedai minum, atau lebih tepat: mereka yang bukan kelas yang terpandang yang tak hendak tinggal di rumah bila malam datang, dan sebab itu tak patut, dan sebab itu serong.
Tapi apakah peran malam, sebenarnya? Seorang yang menulis sejarah malam, atau malam dalam sejarah, Roger Ekirch, menggambarkan bagaimana malam ”mewujudkan sebuah kebudayaan yang berbeda, dengan adat-istiadat dan ritual tersendiri… yang lain dari realitas sehari-hari pada waktu siang”.
At Day’s Close: Night in Times Past, yang ditulis Ekirch setelah penelitian selama 10 tahun, pada dasarnya adalah sebuah cerita tentang malam sebelum dan sesudah orang menemukan dan menggunakan cahaya buatan dalam ruang hidupnya. Khususnya di Eropa Barat dan Amerika (yang masa itu masih sebagai koloni Inggris), antara tahun 1500 dan pertengahan tahun 1700-an, ketika penerangan lampu untuk ruang-ruang khalayak baru mulai diperkenalkan.
Pada masa yang jauh sebelum Thomas Alva Edison itu, di musim panas orang pada berangkat tidur pukul 10 malam dan di musim dingin pukul 9. Tapi mereka masih melek sebenarnya. Ruang bisa luas bisa sempit, tapi yang menentukan adalah satu-satunya benda yang didapat dengan harga tinggi di kamar itu: ranjang. Seantero keluarga akan berbaring di sana—bahkan mungkin pelayan dan tamu—di atas matras yang disumpal jerami, tak bisa dan tak hendak ke mana-mana, karena yang ada hanya gelap. Untuk mempercepat kantuk: mereka minum, sampai teler. Orang Jerman menyebutnya Shlafdrincke.
Tapi malam juga bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang tak akan dapat diperbuat orang bila hari siang dan cahaya matahari membuka mata, dan yang tak tampak jadi tampak. Kejahatan. Percabulan. Pembalasan dendam. Mungkin itu sebabnya gelap dicoba dikalahkan terang, dan orang bicara ”habis gelap terbitlah terang”, seakan-akan gelap adalah sebuah kekurangan dari sebuah keadaan normal—sementara gelap punya sejarah yang lebih tua, dan punya ”kebudayaan”-nya sendiri.
Tapi apa yang oleh Henri Lefebvre disebut sebagai ”serbuan yang intens visualisasi” memang telah lama terjadi dalam ruang hidup manusia. Seperti sudah disebutkan di atas, yang tak tampak selalu hendak dikalahkan oleh yang tampak. Ada yang menunjuk awal sejarahnya sejak Plato—yakni sejarah kebudayaan oculocentric, yang seperti dalam kisahnya tentang manusia di gua yang terkenal itu, menaikkan derajat ”tampak mata” hingga sama dengan ”mengetahui”. Yang visual akhirnya sama dengan yang kognitif.
Dalam peradaban yang berkisar pada prestasi okular itu (dari kata Latin oculus, yang berarti ”mata”), pelbagai perubahan terjadi. Lampu ditemukan jauh sebelum Edison, dan cahaya dipasang sampai ke sudut-sudut jalan, seperti ketika pada tahun 1736, di London orang mendirikan hampir 5.000 lampu minyak di tempat untuk publik. Juga arsitektur rumah, gereja, keraton, diarahkan untuk menggapai dan menyadap matahari. Mambang harus diusir, peri tak diberi tempat, sepanjang mereka adalah bagian dari penghuni kegelapan. Manusia harus ”mengetahui” dan itu artinya ”melihat”.
Kita tahu bahwa ”melihat” belum tentu sama dengan ”mengetahui”. Kita tahu ”gelap” belum tentu sama dengan ”bodoh”. Kita tahu bahwa malam tak hanya menghadirkan pelacur dan kuntilanak, rampok dan gendruwo, tapi juga rahasia—satu bagian dari hasrat kita yang menampik untuk 100 persen transparan, karena kita tahu ada batas yang tipis antara ”diketahui” dan ”dikuasai”.
Juga kita tahu malam bisa memperlihatkan apa yang tak hendak diperlihatkan, dan kita tahu mengenal yang disisihkan adalah mengunjungi yang harus dikunjungi. Seperti satu sajak Robert Forst:
I have been one acquainted with the night. I have walked out in rain—and back in rain. I have outwalked the furthest city light. I have looked down the saddest city lane. I have passed by the watchman on his beat And dropped my eyes, unwilling to explain.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo