Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INSIDEN kebocoran pipa minyak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, menunjukkan PT Pertamina (Persero) tidak siap melakukan mitigasi kegagalan operasi. Perusahaan negara minyak dan gas bumi itu seperti tergagap mengatasi tumpahan minyak yang kini menutupi 20 ribu hektare laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kebocoran terjadi sekitar pukul 03.00 Wita, 31 Maret lalu, akibat patahnya pipa penyalur minyak mentah dari Terminal Lawe-lawe di Penajam Paser Utara ke kilang Balikpapan. Pipa yang dipasang pada 1998 itu putus dan bergeser sekitar 120 meter dari posisi awalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sedikitnya 40 ribu barel minyak mentah tumpah meski kebocoran dapat ditutup dua jam kemudian. Ada kesan Pertamina menyembunyikan kejadian tersebut: pengumuman resmi baru disampaikan tiga hari berselang. Sempat pula terjadi kekacauan komunikasi ketika pejabat Pertamina Balikpapan menyangkal ada kebocoran meski kemudian meralatnya.
Dampak ekologis tentulah mengerikan: tumpahan minyak menutup 34 hektare kawasan mangrove di Kelurahan Kariangau, habitat kepiting. Sebanyak 6.000 batang dan 2.000 bibit mangrove di Kampung Atas Air, Margasari, menghitam oleh tumpahan bahan bakar mentah.
Minyak yang tumpah di laut merupakan polutan organik yang sulit terurai dalam waktu singkat. Minyak mentah yang tumpah di Prince William Sound, Alaska, Amerika Serikat, Maret 1989, diperkirakan baru bisa dibersihkan 25 tahun kemudian. Saat itu, tanker Exxon Valdez terguling dan mengguyurkan 41 ribu meter kubik minyaknya ke laut.
Greenomics Indonesia memperkirakan kerugian ekologis di Teluk Balikpapan mencapai US$ 8,27 miliar atau sekitar Rp 111,7 triliun. Penghitungan minimal ini didapat dengan mengacu pada nilai ekonomis dari berbagai komponen utama ekosistem laut dan hutan bakau.
Indikasi kelalaian sulit ditutupi. Pertamina mengaku usia pipa yang bocor telah 20 tahun. Tabung penyalur minyak itu juga tidak dilengkapi sensor sehingga lokasi kebocoran tidak diketahui dengan cepat. Lokasi itu baru diketahui setelah penyelam turun ke kedalaman laut 20-26 meter. Patut dicemaskan: perusahaan sekaliber Pertamina tidak memiliki sistem pengamanan kegagalan operasi. Perusahaan itu juga menggunakan pipa dengan alat pemberi peringatan yang tidak berfungsi.
Bila terbukti melakukan kelalaian yang berdampak kerusakan lingkungan dan menelan korban, perusahaan minyak itu bisa dijerat Pasal 99 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggar aturan itu diancam hukuman penjara 9 tahun dan denda Rp 9 miliar serta keharusan membayar ganti rugi kepada masyarakat dan lingkungan.
Pemerintah mesti bersikap tegas. Langkah awal adalah meminta Pertamina bertanggung jawab mengatasi dampak kerusakan ekosistem laut akibat tumpahan minyak tersebut. Pertamina dimungkinkan menuntut pihak lain yang menjadi pemicu kebocoran pipa bawah laut itu-termasuk dugaan keterlibatan kapal pengangkut batu bara yang ditengarai menyeret pipa ketika buang sauh.
Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut bisa menjadi peluru bagi Pertamina untuk menyeret pihak yang menjadi penyebab kebocoran pipa. Aturan yang memakai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) ini mewajibkan pemilik kapal membayar kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan dari pencemaran.
Pembentukan tim gabungan mitigasi bencana mesti diprioritaskan. Tim itu perlu melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kementerian teknis, akademikus, LSM lingkungan, serta masyarakat setempat.
Kehadiran pemerintah dalam mengatasi bencana lingkungan ini penting sebagai koreksi atas pernyataan "offside" Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan, yang mengatakan kebocoran pipa itu sudah bisa diatasi dan bukan merupakan kesalahan Pertamina. Klaim ini jelas prematur karena penyelidikan saat itu belum lagi dilakukan.
Langkah Amerika Serikat dalam mengatasi kerusakan lingkungan akibat ledakan kilang pengeboran minyak Deepwater Horizon milik British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko pada 2010 bisa ditiru. Saat itu, Presiden Barack Obama meminta BP membayar ganti rugi senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 172 triliun kepada masyarakat dan pemerintah selain memperbaiki lingkungan yang tercemar.
Bencana lingkungan yang terjadi mesti menjadi momentum bagi Pertamina untuk melakukan audit ulang kondisi dan sistem pengamanan semua pipa minyak bawah laut. Adapun dalam proses penyidikan, polisi harus bertindak cergas dan tak pandang bulu. Bencana serupa tak boleh terulang.