Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mandito

Banyak orang yang bersedia naik haji setelah siap untuk memikirkan akhirat. di kalangan pejabat ada pengertian mandito, menjadi kiai menjelang usia tua.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mandito M. Dawam Rahardjo JUDUL buku Danarto Orang Jawa Naik Haji itu memang membuat orang berpikir apakah memang persepsi orang Jawa tentang naik haji itu berbeda dengan pengertian dalam hukum fikih tradisional. Saya lalu teringat kakek saya yang panggilan akrabnya Ngali Rejo. Sesudah ia naik haji, namanya lalu ditambah dengan Azhar. Ketika menunaikan rukun Islam kelima itu, ia memang sudah memasuki usia "pensiun". Nyatanya, umurnya masih akan amat panjang, lebih dari tiga dekade lagi. Tapi ketika itu ia memang berniat bahwa, sesudah naik haji, ia akan memusatkan perhatiannya pada soal-soal akhirat, apa pun maknanya. Sejak itu ia memang menjadi lebih getol belajar dan berbicara dengan penuh gairah mengenai agama. Tapi kebiasaannya dalam kerja keras cari duit, sebagai juragan tembakau, tidak terlalu banyak surut karena ia harus bertahan hidup. Naik haji pada umur yang sudah tua sebenarnya dapat dikaitkan dengan soal kemampuan ekonomi. Orang dulu perlu nabung dulu. Tapi juga ada kaitannya dengan persepsi keagamaan. Banyak orang yang baru bersedia naik haji setelah "siap" untuk memikirkan akhirat atau soal-soal transendental. Di kalangan pejabat, memang ada pengertian mandito, "menjadi pendeta", atau "menjadi kiai", menjelang usia tua. Kalau sudah punya dasar pendidikan agama, memang bisa benar-benar menjadi kiai. Kalau belum, orang akan belajar agama. Pada usia yang sudah sarat pengalaman hidup itu, belajar agama, tidak seperti belajar ilmu-ilmu lainnya, memang jauh lebih cepat. Maka, orang memang bisa benar-benar menjadi kiai. Dan bukan kiai " karbitan". Konon, Sunan Bayat, yang menyebarkan agama di daerah Klaten, adalah mantan Bupati Semarang. Tokoh Islam di Yogya dulu, Prabuningrat, adalah seorang bangsawan, kakak Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sesudah selesai tugas jadi gubernur, Pak Munadi lalu menjadi Ketua Majelis Ulama Jawa Tengah. Ada jenderal purnawirawan, seperti Pak Dirman, yang akhirnya terjun di bidang dakwah. Pokoknya, tak kurang cerita tentang kiai, bahkan wali, sunan, dan "orang suci" yang berasal dari kalangan keraton, bangsawan dan pejabat. Perubahan jalan hidup itu umumnya didahului atau ditandai dengan tindakan naik haji. Sekarang situasinya sudah berubah, antara lain juga karena bertambahnya penerangan tentang agama. Makin banyak saja orang masih muda sudah naik haji karena mumpung masih kuat dan karena sudah mampu ekonominya. Pak Harto memang baru naik haji dalam usia 70 tahun. Tapi anak-anaknya dan menantu-menantunya yang masih muda juga ikut. Kaum muslimin pada umumnya sangat bersyukur karena kepala negara mereka sudah naik haji. Tapi, ada pula orang, menurut Pak Probo, yang menafsirkannya sebagai "haji politik". Orang yang berani punya pikiran seperti itu umumnya dijuluki jail methakil, alias mengada-ada, dan berpikiran "jahat". Pak Harto, pada waktu kecil, menurut keterangan Menteri Moerdiono, sering tidur-tiduran di masjid dan senang mendengarkan pengajian. Dengan latar belakang seperti itu, keinginan naik haji akan ditafsirkan sebagai suatu hidayat dan bukan sikap politik. Pak Harto memang naik haji menjelang Pemilu 1992. Tak mengherankan bila ada dugaan, setelah Pak Harto naik haji, umat Islam, yang 87% dari penduduk Indonesia itu, termasuk dan terutama yang dianggap fundamentalis, tentu sudah hilang keraguannya, jika ada. Dan akan lebih mantap mendukungnya. Tapi tak sedikit yang menafsirkan bahwa naik hajinya Pak Harto itu merupakan tanda bahwa beliau justru sudah siap mengundurkan diri dari dunia politik. Dugaan seperti itu umumnya justru disertai dengan kekhawatiran, bahwa Pak Harto sudah tidak lagi memiliki keinginan politik yang duniawi itu, padahal orang mendukung dan mengharap bahwa Pak Harto masih bersedia dipilih lagi. Dalam suatu diskusi informal di restoran Summer Palace, para peserta yang terdiri dari mantan tokoh militer, cendekiawan, dan pengusaha besar itu sepakat bahwa kini Pak Harto berada dalam puncak pengaruhnya sebagai negarawan yang berhasil. Ada dua pilihan bagi Pak Harto, mengundurkan diri pada saat demikian itu, sebagai orang besar, sebelum datang saat-saat yang mungkin sangat sulit menjelang abad ke-21, saat akan terjadi pergantian generasi kepemimpinan secara alamiah di Indonesia, dan perubahan-perubahan mendasar lainnya. Atau meneruskan kepemimpinan, sambil mempersiapkan pergantian kepemimpinan nasional secara mulus. Memang ada yang berkeberatan dengan pilihan kedua itu. Soalnya, selama masih dipimpin oleh Pak Harto, para pemimpin senior yang sudah terlalu lama di puncak kepemimpinan tidak bakal diganti. Ini berarti menghambat kepemimpinan baru misalnya dari generasi '66 yang kini sudah semakin tua itu. Lebih dari itu, yang dikhawatirkan adalah tidak terjadinya perubahan-perubahan kebijaksanaan yang mendasar dan diperlukan pada masa transisi itu. Tapi dengan dasar pemikiran yang sama, ada juga yang berpendapat bahwa justru pada puncak kewibawaannya itu Pak Harto sangat diperlukan untuk tetap menjadi presiden. Beliau bisa menggantikan yang tua dengan yang lebih muda. Dan Pak Harto diperlukan untuk membereskan hal-hal yang dianggap belum selesai dalam Trilogi Pembangunan. Misalnya soal pemerataan. Proses konglomerasi dan globalisasi dewasa ini dinilai cukup rawan karena menumbuhkan tanda-tanda melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi. Pak Harto sangat terkenal dan memiliki citra istimewa dalam berdialog dengan para petani. Komitmennya terhadap pembangunan pertanian dan koperasi sangat nyata. Karena itu, beberapa tokoh koperasi dalam diskusi di atas berpendapat bahwa Pak Harto justru bisa diharapkan dan memiliki kemampuan untuk mengambil langkah-langkah yang radikal. Kali ini Pak Harto diharapkan menjadi seorang pandito ratu, yang mampu berpikir transendental, setelah naik haji, untuk melakukan suatu perubahan, dalam situasi ketika rakyat masih meragukan telah adanya pemimpin yang lebih muda yang mampu melaksanakan misi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus