Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mari Kita Bicara Lagi Tentang Nasi

Konsumsi beras masyarakat kota sangat mengkhawatirkan. Perlu diusahakan isu nasional untuk mengubah pola konsumsi makan nasi. Cukup makan nasi sekali dalam sehari diselingi dengan makanan lain.

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAPA kali dalam sehari anda makan nasi? Tiga kali? Bagus, dan selamat. Itu menunjukkan bahwa anda mungkin sudah dapat dimasukkan ke dalam golongan mereka yang tidak berada di bawah "garis kemiskinan". Dan mungkin juga telah memasuki taraf "hidup bergizi dan bermutu". Tetapi, dulu waktu masih kecil seringkah anda mengamati pola konsumsi nasi" kakek dan nenek kita? Kalau anda orang Jawa kakek dan nenek itu mungkin suka tirakat, nglakoni, suka mengurangi kwantitas dan kwalitas makannya. Kadang mereka hanya makan ubi-ubian dan sayuran tanpa garam -- nganyep dan ngrowot. Kadang ditambah dengan puasa Senin dan Kamis. Dan kalau kita tanya buat apa mereka berbuat begitu, mungkin mereka akan berkata: buat kalian, cucuku, supaya kalian bisa berpangkat tinggi dan bisa naik mobil besar. Waktu berkata begitu, kepala mereka manggut-manggut, tersenyum, matanya bersinar bahagia. Kebahagiaan seorang masochist, yang bahagia karena penyiksaan dirinya sendiri? Masochist atau bukan mungkin sekali nganyep atau ngrowot itu konsep "mistik" nenek-moyang orang Jawa yang nrimo dan pasrah tentang penghematan dan penyimpanan persediaan pangan. Sebab siapa tahu konsep ini baru berkembang sesudah Jawa dihajar dan dikuras habis oleh Cultuurstelsel -- itu sistem tanam paksa yang edan dari Van den Bosch. Yakni, sesudah orang-orang Jawa dan Sunda tinggal tulang dan kulit ..... Dan para petani kecil kita yang merupakan mayoritas itu, pernahkah mereka makan nasi tiga kali dalam sehari juga dalam keadaan makmur mereka? Sekali-sekali pernah, tetapi tidak selalu. Makan nasi dalam kwantitas besar saya kira cuma sekali dalam sehari, yakni pada waktu siang atau sore hari. Selebihnya yang mereka makan adalah ubi-ubian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Juga di sini petani itu di samping memang melarat juga punya konsep menghemat dan menyimpan. Sebab tanpa konsep demikian bagaimana mereka akan masih bisa bertahan terus, dengan involusi pertanian Jawa, seperti dikemukakan Clifford Geertz (Agricultural Involution) itu? Lantas, siapa dong, yang makan nasi tiga kali dalam sehari? Wah, tinggal orang-orang kota! Dan tentulah kota-kota itu kebanyakan kota-kota di Jawa. Kota, tangan-panjang dari desa yang makin membengkak saja itu mengangakan mulutnya lebar-lebar melahap nasi yang ditanak dari beras yang diimpor tidak hanya dari desa-desa kita sendiri, tetapi juga dari negara-negara asing yang akan makin banyak saja jumlahnya. * * * * Tetapi belum sampai setahun yang lalu, bukankah massmedia kita telah mencanangkan kekhawatiran para pengamat konsumsi beras tentang pola kita melahap nasi itu? Kata mereka: bila begini terus cara orang Indonesia melahap nasi (sambil terus melahirkan bayi-bayi), ditanggung pada tahun 1985 seluruh, sekali lagi seluruh, ekspor di seluruh dunia harus ditumpahkan ke Indonesia. Wah, itu tinggal enam tahun lagi! Sementara itu sudah akan memadaikah usaha perluasan persawahan kita di luar Jawa? Sudah akan naikkah, dengan sangat mengesankan, produktivitas per kapita petani kita? Masih akan cukupkah dana-dana yang kita tumpuk lewat kenaikan harga minyak OPEC dan pemungutan pajak yang lebih getol pada tahun 1985 untuk membayar beras dari ekspor seluruh dunia itu? Tapi sementara itu pula, nasi terus dilahap dengan penuh oisesi dan gusto. Nasi adalah simbol status dan simbol kenikmatan karbohidrat yang dianggap sangat penting di negeri ini. Makan nasi tiga kali (yang enak lagi) adalah untuk mengukuhkan citra kemakmuran kita dalam komunitas. Kurang sreg jika cuma makan nasi pembagian, PB atau IRI. Kalau bisa, Cianjur, Rojolele, Mandi .,, (Dalam ruang advertensi majalah kita ini, umpamanya, sebuah rumah-makan Ayam-Goreng bahkan menjajakan dengan bangganya bahwa nasi yang disuguhkan adalah nasi rojolele yang spesial didatangkan dari Delanggu . . .) Konsep empat sehat, lima sempurna juga ditafsirkan demgan lauk-pauk lengkap plus nasi! Sementara itu dilaporkan bahwa produksi sagu, ubi-ubian dan jagung di kawasan lain di negeri kita melimpah, setidaknya dapat diusahakan dengan gampang untuk melimpah. Tidak tahukah kita tentang berbagai informasi di atas itu? Tidak tahukah kita bahwa "makan nasi" sudah menjadi isyu nasional yang gawat dan kritis? Oh, kita tahu, dong! Informasi itu meski sepotong-sepotong disampaikan di media massa. Kita diberi tahu, umpamanya, keluarga Presiden sekarang makan nasi diseling dengan kentang dan ubi-ubian. Menteri Ali Murtopo menganjurkan kita makan roti, Masri Singarimbun melancarkan kampanye sagu, seorang menteri mengumpat mereka yang makam nasi rojolele sebagai orang-orang yang mementingkan diri sendiri, ahli ini atau itu berkata bahwa kita masih terlalu "padi sentris" kurang perhatian buat palawija dan sebagainya lagi. Lantas, mengapa kita masih adem ayem seakan kita sudah berada lagi dalam negeri yang tata tentrem kertaraharja seperti duluuu waktu kita masih membayangkan hidup di kerajaan Ngamarta atau Hastinapura? *** Herbert Feith pernah berbicara tentang gaya pengelolaan politik yang disebutnya sebagai solidarity-making approach. Yakni suatu pendekatan yang mengandalkan pada penggalangan solidaritas-massa lewat teknik pengerahan opini massa yang digerakkan secara luas dan intensif. Gaya Bung Karno disebutnya sebagai gaya solidarity-making ini. Saya tidak tahu apakah pendekatan begini akan tepat buat mengguncang-guncang ketidak-acuhan kita terhadap "krisis makan nasi" sebagai isyu nasional yang kritis. Tapi mungkin perlu satu gerakan kampanye besar-besaran yang dibarengi dengan contoh dari para bapak pemimpin tentang perubahan radikal, sekali lagi radikal, dalam pola makan nasi kita. Makan nasi yang cukup satu kali dalam sehari. Selebihnya, kreatiflah menyeling dengan makanan lain. Dan berbaren dengan itu juga sekaligus kampanye penelitian, penanaman dan pemasaran besar-besaran: sagu, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, jali-jalian .... Bagian terbesar dari rakyat kita sudah selalu makan nas sekali saja dalam sehari. Mereka sudah cukup "kreatif" menyelingnya dengan makanan lain. Tinggal kita-kita yang di kota saja yang belum. Bisa? Mungkin pada waktu puasa begini kita bisa mulai dengan tekad itu. Mungkin pada waktu kita nanti berziarah di kuburan kakek dan nenek kita perlu berbisik pada batu nisan mereka: Nyuwun sewu, meskipun pangkat dan montor sudah di tangan, nampaknya kita masih akan harus tirakat ngrowo lagi ..........

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus