Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mari Kita Punahkan Kancil

Menurut ajaran Prof. Macclelland, perkembangan manusia banyak dipengaruhi berita-2 di kala balita. Kisah kancil yang sifatnya selalu ingin senang dengan menganiaya orang lain menjadi kisah di Indonesia.

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM pak Emil Salim dan pak Benyamin Galstoun marah-marah, lebih baik cepat-cepat saya jelaskan bahwa yang saya bicarakan ini bukan kancil yang tinggal di daerah territorial Ragunan dan cagar alam lainnya, tapi kancil dalam dongeng, yang ternyata banyak penggemarnya di negeri ini. Kancil biasanya dianggapldan disamakan dengan orang kecil yang cerdik. Jika dalam satu kelompok ada orang yang tubuhnya kecil tapi selalu lolos dari segala macam kesulitan, dia akan dipanggilkan si Kancil. Sifat-sifat kancil dianggap sebagai suri-tauladan. Dan mungkin ini menjadi dedengkotnya peristiwa nasional, yang sering-sering tragis, yang sering kita baca di koran-koran. Sebelum sampai ke sana, mari kita coba meng-kodefikasi sifat kancil ini, melalui cerita-ceritanya yang banyak beredar. Ternyata ada dua sifat dasar yang menonjol: Pertama: Mencari keuntungan/kepuasan diri sendiri sambil merugikan/mencelakakan makhluk lain. Contoh soal: membujuk harimau memalu kenong pusaka yang tahi kerbau membujuk harimau menabuh sarang lebah membujuk harimau mengenakan ikat pinggang ular hidup menganjurkan buaya berbaris melintang sungai membentuk jembatan ponton. Kedua: Menyelamatkan diri dengan mencelakakan makhluk lain. Contoh soal: kancil jatuh ke sumur dan membujuk agar binatang-binatang lain juga terjun ke sumur agar kancil dapat keluar kancil dalam kurungan membujuk anjing bertukar tempat. Ada tabiat lain, tentu saja, namun semua tidak cukup banyak. Sekarang mari kita baca-baca koran: pejabat A korupsi sekian miliar, PN C rugi sekian miliar, pengusaha D menyelewengkan kredit sekian miliar, sekian ton pupuk disalah-alamatkan, dan sebagainya, dan sebagainya (dan saya bingung!). Kapan saja saya ikuti melalui koran jalannya proses penyidangan bilangan miliar-miliaran ini, tidak dapat tidak, dalam benak saya terbayang seekor kancil yang duduk di korsi tertuduh. Mesem-mesem. Puas dengan diri sendiri. Tentu saja bermonolog seperti ini, "sebentar lagi juga akan ada makhluk yang akan melemparkan saya ke luar dari sumur buntu keparat ini. Tah! Kalau tidak. bukan kancil nama saya." Sekarang mari kita lihat-lihat ajaran Prof. MacClelland (yang konon pernah ke Indonesia) dan gerombolannya. Kata mereka, maju-mundur serta kembang-bantetnya suatu kelompok manusia, banyak sekali dipengaruhi oleh cerita-cerita yang didengar dan dihayati anggota kelompok itu sewaktu mereka masih sangat muda. Rupanya, nilai dan norma yang dapat tumbuh subur adalah yang ditanamkan ketika sang calon manusia masih sangat muda, sekitar usia tiga tahun! Pak prof ini bisa saja salah, bisa saja benar. Tapi barangkali orang Indonesia memang sudah sejak kecil diindoktrinasi dengan tabiat kancil. Kalau tidak kancil, ya, si Kabayan yang WNI, atau Abu Nawas yang WNA. Maka saya masih akan menganjurkan agar kita musnahkan saja itu kancil. Atau kita ganti sifat-sifatnya yang busuk itu dengan yang lebih dapat dipujikan: yang berani, yang jujur, yang tidak merugikan makhluk lain, berkorban untuk kepentingan masyarakat, tidak main keroyok, yang merencanakan hari depan ....Daftar ini bisa panjang sekali. Apa yang dibuat negeri-negeri lain mengenai hal ini? Yang komunis menyadari dan mempraktekkannya tanpa reserve. Di saat mereka menguasai suatu negeri, yang pertama mereka lakukan adalah merobah buku sejarah dan buku bacaan kanak-kanak. Negara-negara "liberal" idem dito, walaupun tidak sekasar itu benar. Mari saya ceritakan sebuah dongeng dari Jepang, yang saya dengar di Medan dari guru yang Melayu pada zaman Jepang: Konon ada seorang anak yang selalu gagal belajar menulis (huruf kanji, tentu saja). Sedih, malu dan putus asa, anak ini pergi menyendiri ke hutan, dan duduk di tepi sebatang anak sungai. Di situ dilihatnya seekor kodok, yang berusaha melompat ke atas sebuah batu, yang terlalu tinggi untuknya. Gagal melompatinya, coba lagi, gagal lagi, coba lagi gagal lagi, demikianlah seterusnya. Akhirnya, menjelang sore, terjadilah keajaiban itu: sang kodok melompati batunya! Anak Jepang itu tersentak, menyadari dirinya, bertekad, dan .... anda dapat meneruskan sendiri. Sekarang tentunya anda ingin bertanya, berapa orang sih di antara kami yang mengamalkan ajaran kodok itu? Tidak tahu. Ketika cerita itu kami dengar, kami sudah duduk di kelas tiga, umur sekitar sepuluh tahun. Jadi sudah terlalu banyak bertabiat seperti kancil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus