Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nurman Hakim*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAIMANA bahasa yang manusia gunakan saat ini muncul? Apakah ia datang tiba-tiba bersamaan dengan datangnya manusia ke bumi? Bagaimana pula perkembangannya? Tidak mudah menjawabnya secara utuh, tapi setidaknya kita bisa meraba, menelusurinya, dengan temuan-temuan arkeologi dan teori evolusi kebudayaan dalam perspektif antropologi.
Ketika pertama kali mengenal bahasa, manusia menggunakan gambar untuk berkomunikasi. Penemuan gambar di gua-gua yang diduga berumur puluhan ribu tahun menandakan bagaimana manusia dulu berkomunikasi. Misalnya gambar yang ditemukan di sebuah gua di Kalimantan Timur. Gambar binatang dan beberapa manusia dengan bentuk sederhana itu diperkirakan berumur 40 ribu tahun. Gambar itu adalah tanda yang hendak disampaikan kepada orang lain. Kenapa mereka tidak menggunakan kata-kata? Para antropolog menduga, saat itu, kata-kata belum lahir.
Kelahiran kata-kata bersamaan dengan evolusi kognisi manusia. Kognisi manusia berhubungan dengan gen kecerdasan. Makin berkembang organisme individual manusia, makin berkembang pula kognisinya. Di situlah manusia kemudian menciptakan bahasa dalam bentuk kata-kata, yang lalu tersusun menjadi kalimat, dan segala aturannya yang disepakati di antara komunitasnya. Charles Darwin dalam teori evolusinya menyebutkan, dengan perkembangan organisme individual, perkembangan bahasa melalui kecerdasan manusia pun berbanding lurus dengan perkembangan kebudayaan.
Kebudayaan terbentuk karena merespons kebutuhan manusia modern yang makin kompleks. Senada dengan Darwin, Edward Burnett Tylor, antropolog peletak awal definisi kebudayaan, mengatakan kebudayaan muncul dan berevolusi melalui kognisi. Dengan demikian, evolusi kebudayaan bergerak bersama bahasa. Dua dasawarsa lalu, kita tak mengenal kata “surel” dan “gawai”, misalnya.
Dari gawai itulah muncul berbagai macam aplikasi yang memungkinkan kita berkomunikasi jarak jauh. Muncullah Facebook, WhatsApp, dan lain-lain. Aplikasi itu melahirkan tanda-tanda bagi kita untuk mengembangkan bahasa. Kata-kata adalah tanda yang memiliki dua wajah: penanda (signifier) dan petanda (signified), sebagaimana yang diteorikan Ferdinand de Saussure.
Menurut Saussure, kata terbentuk dari fonem dan morfem, lalu kata-kata membentuk kalimat. Itulah yang kita sebut sebagai langue. Langue adalah sekelompok sistem tanda serta segala aturannya yang disepakati suatu masyarakat dan berfungsi untuk berkomunikasi. Sedangkan parole adalah tindakan, ekspresi, dan ujaran kita dari langue. Langue mempengaruhi parole dan begitu pula sebaliknya.
Dalam konteks bahasa yang timbul dari penggunaan aplikasi, misalnya WhatsApp, kita menemukan banyak gambar (emoji) yang muncul untuk menyampaikan ekspresi penggunanya (parole). Mengapa pengguna itu tidak menggunakan kata-kata? Jangan-jangan kata-kata (dalam pikiran pengguna) tidak cukup untuk merepresentasikan maksudnya. Emoji telapak tangan menyatu memberikan arti yang lebih luas daripada kata “terima kasih” atau “salam”, misalnya, atau emoji jempol tangan punya makna yang lebih luas daripada sekadar kata “mantap” dan “keren”.
Bahkan, tak jarang, dalam percakapan di WhatsApp, seorang pengguna menjawab pesan dengan tidak menggunakan kata sama sekali, tapi memakai beberapa emoji: tanda jempol, tanda senyum, tanda kepalan otot tangan, tanda orang menari, bahkan tanda piring beserta sendok dan garpu. Kumpulan tanda itu akan memberikan arti yang jauh lebih luas daripada sekadar kata “mantap”, “asyik”, atau “luar biasa”. Bahasa emoji ini pun berkembang. Emoji terbaru adalah gambar (orang, hewan, atau benda) yang dipadukan dengan kata-kata menjadi satu kesatuan tanda.
Ujaran dan ekspresi kita (parole) telah mempengaruhi konsepsi tentang bahasa (langue), yang kemudian kita terima sebagai seperangkat aturan dalam berkomunikasi. Kita menciptakan tanda-tanda baru seiring dengan berkembangnya kebudayaan.
Hal itu seperti puisi, yang hadir karena kata-kata sebagai tanda tidak mampu lagi merepresentasikan maksud dan emosi pengguna. Kata-kata dalam puisi tidak lagi harus merujuk langsung pada arti kata (tanda) yang dimaksud. Kata-kata kehilangan otonominya. Kata-kata dalam puisi bermakna lain ketika menyatu dengan kata lain dalam larik-lariknya.
Bisa jadi, perlahan, mungkin 10 ribu tahun lagi, kita seperti kembali ke masa lalu, ketika gambar-gambar di gua digunakan untuk berkomunikasi, atau kita menuju suatu bentuk bahasa yang tidak kita ketahui seperti apa, yang berbeda dengan bahasa yang kita gunakan saat ini. Sebab, kita hidup dalam evolusi kebudayaan (bahasa) yang bergerak perlahan dan pasti, tapi sering tidak kita sadari.
*) Sutradara film, mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Indonesia
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo