Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Masa Depan Hutan di Rezim Prabowo-Gibran

Janji Prabowo-Gibran menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau berisiko memperparah laju pengurangan luas tutupan hutan.

1 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Terus berkurangnya luas hutan perlu menjadi perhatian pemerintah baru.

  • Visi-misi Prabowo-Gibran soal pelestarian hutan kontradiktif dengan visi-misi mereka soal swasembada energi.

  • Luasan hutan dapat terus berkurang karena kebutuhan lahan hutan tanaman energi.

Djayu Sukma Ifantara
Project Coordinator Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tutupan hutan di negeri ini terus-menerus berkurang setiap tahun. Pada 2017-2021 saja, Indonesia kehilangan 956.258 hektare hutan. Hal ini perlu menjadi perhatian Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang hampir pasti menjabat presiden dan wakil presiden 2024-2029 setelah memimpin perolehan suara sementara pemilihan presiden versi Komisi Pemilihan Umum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laju deforestasi ini ikut disebabkan skema kerja pemerintah Indonesia yang royal mengundang investasi berbasis hutan dan lahan. Saat ini, setidaknya 71,2 juta hektare atau 37 persen hutan dan lahan di Indonesia telah dibebani izin pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.

Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan komitmen Indonesia dalam penanganan krisis iklim global. Pemerintah terlalu ambisius dengan menetapkan target penurunan emisi rumah kaca sebesar 29 persen tanpa syarat dan 41 persen bersyarat pada 2030. Presiden Joko Widodo mempertegas komitmen itu dalam pertemuan COP28 di Dubai pada Desember 2023 dengan menjanjikan nol emisi karbon pada 2060.

Padahal emisi terbesar Indonesia bersumber dari sektor industri kehutanan, perkebunan, juga tambang. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia bahkan mencatat bahwa emisi karbon negara ini mencapai 2,25 metrik ton per kapita—angka tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Sementara itu, banyak kebijakan yang bersifat sektoral. Sedikitnya terdapat 78 undang-undang di sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, lingkungan hidup, perdagangan, dan tata ruang. Pemerintah mencoba menjembataninya lewat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. Alih-alih meningkatkan kesempatan penyelamatan hutan, undang-undang sapu jagat ini malah memberikan karpet hijau bagi investasi yang dapat merusak lingkungan.

Pemilihan presiden 2024 dapat memberikan gambaran nasib hutan Indonesia. Prabowo-Gibran menekankan pentingnya pemberian hukuman bagi siapa pun yang merusak lingkungan dan hutan, termasuk pertambangan, serta mendorong upaya restorasi, rehabilitasi, dan pemulihan lingkungan yang terdegradasi.

Visi-misi pasangan menteri dan anak Presiden Joko Widodo tersebut, seharusnya, memberikan harapan tentang pelestarian dan pelindungan hutan yang tersisa di Indonesia. Harapan itu sulit terwujud karena ada kontradiksi dengan visi-misi mereka soal swasembada energi.

Satu janji kampanye Prabowo-Gibran adalah menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau. Mereka akan mengedepankan energi baru dan terbarukan yang berbasis bahan baku nabati. Hal ini diterjemahkan dengan mendorong pertumbuhan hutan tanaman energi (HTE) serta perkebunan sawit sebagai sumber utama energi nabati atau biodiesel.

Padahal perkebunan sawit telah menghilangkan jutaan hektare tutupan hutan. Konversi hutan ke perkebunan menyebabkan kerusakan dan penurunan daya dukung lingkungan serta menyulut bencana.

Monokulturisasi dengan mengubah hutan alami menjadi HTE dan perkebunan sawit akan berdampak buruk terhadap ekologi. Habitat satwa tentu akan terganggu dan fungsi ekologis hutan yang terdiri atas banyak jenis pohon akan rusak. Praktik ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam mendorong penurunan emisi gas rumah kaca dari perkembangan investasi berbasis hutan dan lahan.

Pada aspek lingkungan, kebijakan ini berisiko mendorong ekspansi pembukaan lahan baru oleh perkebunan sawit dan hutan tanaman industri untuk penyediaan bahan baku biodiesel. Perluasan lahan ini mempertebal risiko peningkatan deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan. Perkebunan monokultur juga merupakan satu penyebab tingginya emisi di Indonesia.

Pemerintah terpilih harus lebih serius menangani krisis iklim, termasuk mencari terobosan untuk mempertahankan serta menambah luas tutupan hutan Indonesia. Meski menyatakan akan meneruskan arah pembangunan Presiden Joko Widodo, Prabowo-Gibran tidak boleh ragu meninjau ulang kebijakan, peraturan, serta perundang-undangan yang memberikan ruang luas bagi perusak hutan. Presiden baru juga wajib lebih tegas dalam menindak perusak hutan, termasuk para investor di balik para pelaku.

Sebaliknya, pemerintah perlu memperluas keterlibatan masyarakat dalam pelestarian hutan. Di berbagai daerah, masyarakat memiliki kearifan lokal dalam menjaga alam mereka dan terbukti manjur dari generasi ke generasi. Pandangan dan falsafah hidup tersebut belum banyak dirangkul oleh pemerintah. Selama ini, kebijakan pelestarian hutan yang melibatkan peran warga cenderung bersifat top down. Kehadiran presiden baru merupakan momen tepat untuk mengubahnya.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Djayu Sukma Ifantara

Djayu Sukma Ifantara

Project Coordinator Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus