Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Changi-Singapura: sebuah bandara, sehimpun mall, sebuah titik temu pelbagai manusia dalam peristiwa visual. Duduk menunggu jam keberangkatan pesawat, atau berjalan ke arah gerbang-gerbang kepergian, ribuan orang hadir di lorong-lorongnya yang berliku: jalan terang yang disiapkan untuk menonton deretan logo. Orang melihat, atau sudah tak perlu lagi menatap, tapi tetap diharapkan untuk terkesima. Atau untuk ingat.
Huruf-huruf itu, yang membentuk kata yang tak kita pahami, menyentuh dan kemudian terekam dalam retina kita. Mereka langsung punya arti: "Zara", "Emporio Armani", "D&G", "Prada", "Ermenegildo Zegna", "Salvatore Ferragamo"…. Terjemahannya: "keren", "rupawan", "elegan", "mentereng", "memikat", "seksi".
Logo pun jadi "kata". "Makna" jadi image. Dan di bandara internasional yang juga himpunan etalase itu manusia sedunia dianggap menemukan konsensus dalam pemujaan kepada yang visual. Changi adalah tauladan dari asumsi itu, yang tampak kini berlaku di Asia-Pasifik: bila di Hong Kong seseorang menulis the malling of Hong Kong, di Jakarta orang bisa juga menulis dengan tema yang sama.
Di Jakarta, mall makin menegaskan bahwa kota tak lagi sebuah area untuk ngluyur—berjalan tanpa arah, dengan sedikit iseng dan sedikit rasa ingin tahu tentang tempat yang ada di peta atau tidak.
Perlu saya tambahkan: ada perbedaan antara ngluyur di Jakarta lama dan flâneurie dalam deskripsi Walter Benjamin. Keduanya laku seseorang yang punya banyak waktu senggang dan kebebasan bergerak. Seorang pengluyur bisa seperti penyair Baudelaire di Paris abad ke-19, model yang diambil Benjamin sebagai flâneur: seorang pejalan sendirian yang asyik melihat-lihat ("dengan tatapan terarah seorang detektif") tanpa tenggelam ke dalam orang ramai.
Tapi seorang pengluyur bukan bagian dari kelas yang di Eropa dulu mengunjungi galeria. Dalam pengalaman Indonesia tak ada galeria.
Galeria, atau passage, sebuah fenomena Eropa abad ke-19, pada dasarnya sama dengan mall. Di dalamnya seorang pengunjung terlindung dari cuaca yang tak nyaman, dan ia bisa menyusuri ruang, memandang komoditas yang secara keren dipamerkan.
Tapi berbeda dengan mall zaman ini, yang kita lihat di Jakarta, ada ambivalensi dalam hubungan antara sebuah galeria dan jalan besar. Pada Galeria Umberto I di Napoli, misalnya, ada kontinuitas antara koridornya dan jalur yang di luar itu. Tapi jalan itu juga bagian dari gedung Opera San Carlo yang megah; dengan kata lain, merupakan area dari kelas orang berpunya. Mungkin itu sebabnya galeria ini tak berpintu dengan daun yang bisa ditutup; entrance itu terbuka terus, meskipun bangunan ini bukan bagian kegemuruhan kota.
Galeria dilindungi atap. Tapi atap itu, dengan kaca, menampakkan langit. Cahaya matahari selalu ditunggu buat menerangi. Sebaliknya, mall di Jakarta tak menanti matahari. Ia terpisah dari angkasa dan bumi. Ada pintu yang hanya dibuka di jangka waktu tertentu. Terang itu sepenuhnya listrik. Dan dengan itu etalase lebih memancarkan warna dan rupa.
Di dalam mall, yang visual jadi dasar yang mutlak; tatapan sepenuhnya diharapkan ke arah tertentu. Dengan langit-langit dan lantai yang datar linear, mall adalah latar yang tak mencuri perhatian. Meskipun banyak yang mencoba menyajikan pelbagai atraksi, terutama buat anak-anak, mall punya efek sama: orang tak diharap ngluyur ke tempat lain; mata hanya diminta bergerak di antara logo yang silih berganti.
Berbeda dengan galeria. Dengan atap kaca yang ditopang balungan besi yang seperti ornamen, dengan lantai yang menampilkan mosaik tata warna, tiang pualam, dan jam besar berukir, interior sebuah galeri bisa jadi satu pameran tersendiri.
Dengan kata lain, mall adalah sebuah hiperbol di tengah kedataran. Ia meletakkan diri di kehidupan kota yang gemuruh dengan melambungkan yang spektakuler. Sejak 1930, Georg Simmel, yang mengamati kehidupan kejiwaan manusia kota besar, telah mencatat bahwa yang mencolok dalam hubungan interpersonal di kota-kota besar adalah aktivitas visual, bukan aktivitas kuping. Di abad ke-21, yang visual, dalam mall, bahkan tidak saja membentuk hubungan antarmanusia, tapi manusia dengan komoditas. Sementara hubungan antarmanusia bisa saling menumbuhkan, hubungan manusia dengan komoditas tidak.
"Spektakularisasi" itu telah menyisihkan sang pengluyur. Kini lahir kerumunan orang yang menatap dengan terpukau: badaud. Kata ini diperkenalkan Victor Fournel dalam telaah tentang kehidupan kota di tahun 1858. Ketika itu Paris berubah besar-besaran. Toko-toko raksasa, les grands magasins, berdiri sepanjang bulevar yang baru. Badaud terkesima. Kata Fournel, berbeda dengan flâneur, badaud tak punya lagi individualitas: "Di bawah pengaruh tontonan yang tersaji di hadapannya, badaud jadi makhluk impersonal." Kepribadiannya disedot. Ia jadi unsur orang ramai.
Tentu, Fournel berlebihan. Mereka yang di bawah lindungan mall tak dengan serta-merta "impersonal". Tapi mereka memang diasumsikan demikian. Merek, gambar, dan kata menyerbu berulang-ulang, sama dari satu tempat ke tempat lain. Orang pun bisa lupa apa yang khas di tempat itu di saat itu; kita hanya ada di ruang-dan-waktu-pada-umumnya. Rentangan visual itu sebuah generalisasi.
Dan pada mulanya adalah logo. Bukan logos. Kita tak perlu lagi alasan, daya analisis pikiran, apalagi perdebatan. Dari mata terus ke hati. Komoditas itu menegakkan konsensus. Masing-masing kita menyesuaikan diri: di pintumu aku mengetuk, aku tak bisa berpaling. Aku tak akan kluyuran.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo