Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Putri

Kekurangan dalam penglihatan bisa lebih menajamkan rasa, pendengaran, imajinasi. Seperti terlihat pada Putri Ariani.

31 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM The Country of the Blind, H.G. Wells bercerita tentang perjalanan Nuñez, seorang pendaki gunung yang terperosok ke lembah dan berakhir di suatu desa yang semua penduduknya tunanetra. Alih-alih menjadi raja, di desa ini Nuñez justru menjadi seperti orang cacat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para penduduk biasa bekerja setiap hari ketika malam sudah dingin. Tentu tanpa cahaya, karena cahaya tak ada gunanya lagi bagi mereka. Maka, dalam keadaan itu, justru Nuñez yang tak berdaya. Ia tak bisa menyumbang apa pun bagi kegiatan penduduk desa ketika mereka bekerja. Sampai-sampai, ketika dia jatuh cinta kepada Medina yang cantik, orang tuanya mensyaratkan dia mau diobati dari kecacatannya, yang membuatnya tak mampu berbuat apa-apa itu. Dengan kata lain, Nuñez harus rela kedua matanya dibutakan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mari sekarang kita berbicara tentang seorang remaja, di masa kita ini, di negeri kita. Namanya Putri Ariani.

Saya tak tahu apakah orang tua Putri mendapatkan ilham nama anaknya dari “Arianna”. Kata ini bermakna logam perak. Simbol keberlimpahan, yang diasosiasikan dengan Artemis. Dalam mitologi Yunani, Artemis adalah Dewa Bulan, Alam, dan Kelahiran. Maka rasanya tak salah ketika kita memahami Putri Ariani sebagai “titisan” Dewa Artemis.

Sepintas seperti ada yang kurang dengan remaja perempuan cantik ini. Tapi berkah, keberlimpahan, dan kebaikan yang dipancarkan dari dirinya jauh melampaui manusia kebanyakan. Bakat seni, keberanian, keramahan, dan, di atas semuanya itu, kebesaran hati dan optimisme terhadap kehidupan. Putri boleh jadi tak bisa melihat dengan kedua bola mata fisiknya, tapi dia telah mengajarkan kepada kita bahwa mata batin jauh lebih “sakti”. Lebih menjangkau apa-apa yang tak dapat dijangkau mata fisik. Seperti seorang wali, mata batin Putri menembus segala alangan. 

Melihat video-video aktivitasnya di America's Got Talent, sebuah show pencarian bakat di Amerika Serikat, dan di wilayah pegunungan bersalju Åndalsnes di Norwegia saat mereka membuat lagu dan klip video bersama Alan Walker dan Peder Elias, serta melihat cita-citanya yang setinggi langit untuk memenangi Grammy Awards, membuat saya—yang biasa disebut normal ini—merasa kecil. Kata “normal” kemudian terdengar sebagai sekadar bermakna “standar”, bahkan mungkin mediocre. Sebaliknya, tak ada keciutan apalagi rasa rendah diri dari sosok Putri di hadapan siapa pun. 

Entah apa yang diajarkan orang tuanya—ibunya yang belakangan rapi berjilbab dan ayahnya yang bicara diselingi kalimah thayyibah (kata-kata indah pemuji Tuhan)—sehingga anak perempuan remaja ini bisa menjadi seperti superhero. Ada tawakal, ada keyakinan kepada kedermawanan Tuhan, dan tentu ada kesabaran yang bukan alang kepalang. 

“Aku kan tidak sakit, Pa.” Itulah kata-kata Putri yang meminta orang tuanya tak ngotot membawanya ke dokter, ke sana-kemari, demi penyembuhan kedua matanya yang bermasalah. Tidak sakit? Bagi banyak orang, tak dapat melihat barangkali sama saja dengan kiamat. Tapi tidak bagi Putri. 

Jika melihat video behind the scene ketika rekaman lagu dan video “Who I Am itu, kita seperti dibuat tercekat saat Putri dengan sukacita mengatakan bahwa dia menyukai segala yang dia alami di sana. Alih-alih murung, kegembiraan Putri seperti selalu tak terbendung....

Sementara itu, kita punya semua, tapi lebih sering merasa frustrasi, bosan sedih, putus asa, lalu berhenti berupaya. Saya bisa menduga bahwa jalan hidup Putri dan keuletan kedua orang tuanya dalam mendidik Putri pasti berat dan berliku. Tapi justru itu yang membuat kita terkagum-kagum.

Laotse pernah berkata: “Kesempurnaan manusia adalah kerelaannya untuk menerima ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaannya....” Dan Putri adalah perwujudan petuah Sang Bijak dari Negeri Tirai Bambu zaman kuno ini. Hingga, tanpa takut disebut mengada-ada, kita bisa bermewah-kata dengan melaungkan ungkapan ini: perfection of the imperfection itu benar-benar ada. Bukan saja imperfection—atau saya harus menuliskannya sebagai “imperfection”—memang nyata, Putri mengajarkan kepada kita bahwa terkadang apa yang tampak sebagai ketidaksempurnaan itu adalah awal mencuatnya kesempurnaan.

Nyatanya, kekurangan dalam penglihatan bisa lebih menajamkan rasa dan pendengaran serta memusatkan fokus, mengembangkan imajinasi, menggelegakkan cita-cita, dan membulatkan tekad—yang akhirnya bisa meledakkan potensi dan prestasi. Tapi, merujuk pada Laotse, sesungguhnya kemauan menerima ketidaksempurnaan itu sendiri adalah wujud kesempurnaan. Wujud kematangan jiwa: kesabaran, penghargaan kepada kedermawanan kehidupan, dan hak kita untuk bahagia—dalam kondisi dan keterbatasan apa pun.

Akhirnya, seperti orang beriman, kita bisa menyatakan bahwa karya Tuhan tak pernah tidak sempurna. Sebagaimana perkataan Al-Ghazali dan Thomas Aquinas, kita bisa mengatakan bahwa apa yang biasa kita sebut sebagai ketidaksempurnaan di alam ini sesungguhnya adalah bagian dari kesempurnaannya. Laysa fil imkan ahsan min ma kan. Tak ada dalam kemungkinan penciptaan, sesuatu yang lebih baik dari alam yang sudah ada/tercipta ini. Bahwa alam ciptaan tempat kita hidup ini adalah “the best of all possible worlds.

Putri Ariani mendemonstrasikan itu. Dan mengajarkan kepada kita untuk tak menjadi pengeluh yang pasrah menerima kalah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Haidar Bagir

Haidar Bagir

Pendiri Penerbit Mizan. Disertasinya tentang "Perbandingan Pemikiran Mulla Sadra dan Heidegger". Bukunya yang ditulis bersama Uli Abshar Abdalla berjudul "Sains Religius Agama Saintifik" terbit pada 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus