Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan bom bunuh diri di Surabaya menunjukkan gerombolan orang yang berideologi maut tak berhenti mencari kelengahan kita. Ledakan bom secara beruntun di tiga gereja di Surabaya yang menewaskan 13 orang--enam pelaku dan tujuh korban masyarakat--serta melukai 45 orang itu juga memperlihatkan lemahnya kerja intelijen. Lembaga yang berwenang menangani terorisme--Badan Intelijen Negara, Kepolisian RI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme--gagal mencegah perbuatan jahat mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semestinya, setelah teroris berulah dan membunuh lima polisi di Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI di Depok pada pekan lalu, BIN bersama Polri dan BNPT segera melakukan antisipasi. Memang, setelah insiden di Mako Brimob, polisi menangkap sejumlah orang di Bekasi, Karawang, dan Cianjur. Meski begitu, polisi gagal mengantisipasi pergerakan jaringan teroris ini sehingga pengeboman laknat terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan di Surabaya, juga di Mako Brimob dan serangan lain yang mengiringi, seperti diungkapkan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, dilakukan oleh Jamaah Ansharud Daulah dan Jamaah Ansharut Tauhid, yang berbaiat kepada kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok ini amat jahat. Di antaranya mereka bertanggung jawab atas bom di Terminal Kampung Melayu dan bom di Jalan Thamrin, Jakarta.
Bom Surabaya menandakan bahwa ISIS telah mengaktifkan sel-sel yang selama ini "tidur". Gerakan baru ini, menurut polisi, bahkan mulai melibatkan wanita dan anak-anak. Jika benar, ini mencerminkan bahwa teologi maut telah menjadi bagian dari pendidikan keluarga pelaku.
Pelibatan anak-anak ini memberikan pesan kepada kita untuk terus melakukan deradikalisasi. Pemerintah dan masyarakat harus bergerak cepat agar generasi milenial tak sampai dipengaruhi oleh ideologi teror. Radikalisasi perlu ditangkal di hulu dan hilir.
Masyarakat dan organisasi keagamaan seharusnya mulai mengutuk secara terbuka dan lantang, orang ataupun kelompok yang menyebarkan ajaran kekerasan dan permusuhan terhadap kelompok lain. Jangan sampai kelompok radikal bisa seenaknya mengasosiasikan diri dengan suku, golongan, atau agama tertentu. Mereka mesti dipojokkan secara sosial. Selain itu, aparat mesti tegas menindak pelaku anjuran kekerasan, terutama di media sosial, yang jelas-jelas melanggar hukum.
Publik dan aparat seyogianya bersatu-padu menekan berkembangbiaknya ideologi kekerasan yang berbasis kepercayaan dan agama. Tapi gagasan merevisi Undang-Undang Terorisme ataupun penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk melibatkan TNI dalam penanganan terorisme, serta memberi kewenangan kepada polisi untuk menangkap orang tanpa bukti awal yang kuat, mesti ditentang. Terorisme kita kutuk dan lawan, tapi upaya penanggulangan teror janganlah sampai melawan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo