Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VONIS nan zalim terhadap Meliana bisa dihindari andai kata polisi dan jaksa tidak serampangan menjerat warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, ini. Protes Meliana soal suara toa masjid yang terlalu keras seharusnya jauh dari urusan penodaan agama, apalagi sampai membuat ia diadili dan divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluhan Meliana yang keturunan Tionghoa dan beragama Buddha ini semestinya dianggap sebagai bentuk protes yang wajar saja dalam negara demokrasi. Suaminya pun telah meminta maaf jika pernyataan perempuan 44 tahun itu menyinggung umat lain. Tapi urusan yang mencuat pada Juli dua tahun lalu itu menjadi berkepanjangan. Massa yang tersulut rumor sampai merajam rumah Meliana dengan batu. Mereka juga menyerang belasan vihara dan kelenteng. Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara ikut-ikutan menambah kemelut dengan menyatakan Meliana menistakan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya gagal membendung aksi anarkistis di Tanjung Balai, penegak hukum malah bertindak gegabah dengan menetapkan Meliana sebagai tersangka. Polisi menjerat dia dengan Pasal 156 dan 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dua pasal lawas itu mengancam warga negara yang dianggap menyebarkan permusuhan, kebencian, atau penghinaan dan penodaan agama. Keberadaan aturan karet ini sudah sering dipersoalkan karena bisa kapan saja digunakan untuk kepentingan politik atau menekan kelompok minoritas.
Delik penistaan agama pula yang menyebabkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama masuk penjara. Ia dituduh menodai agama karena menyitir Surat Al-Maidah ayat 51 ihwal larangan memilih pemimpin nonmuslim. Polisi kehilangan nyali setelah demonstran mengepung Ibu Kota. Basuki menjadi korban kesekian penggunaan pasal tersebut.
Penegak hukum di Sumatera Utara pun mengulang kesalahan yang sama. Bukan hanya polisi, kejaksaan pun ikut-ikutan tunduk pada tekanan massa. Alih-alih mengoreksi sikap polisi dengan mendakwa Meliana tak bersalah, kejaksaan malah meyakinkan hakim bahwa dia menodai agama. Proses peradilan Meliana pun terlihat janggal. Hakim mengabaikan pendapat saksi ahli yang menyatakan Meliana tak menghina agama.
Vonis terhadap Meliana sangat kontras dengan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Asahan terhadap pelaku penyerangan vihara dan kelenteng. Tujuh pelaku yang nyata-nyata menodai kesucian rumah ibadah itu divonis kurang dari 2 bulan. Hanya satu pelaku dihukum 2 bulan 18 hari. Jelas sudah hukum tak berpihak pada minoritas, yang dengan mudah dituding menodai agama.
Pengadilan banding mesti mengoreksi vonis Meliana. Ia sebaiknya dibebaskan karena perbuatannya tidak masuk kategori menodai agama. Presiden Joko Widodo juga tak sepatutnya diam atau menggunakan pernyataan "tak bisa mengintervensi proses hukum" sebagai tameng. Presiden memiliki kekuasaan untuk mencegah proses hukum yang serampangan. Sebagai atasan kepolisian dan kejaksaan, Jokowi bisa menginstruksikan agar pasal karet tersebut tak lagi digunakan.
Presiden juga mempunyai kekuasaan lebih dari cukup untuk memastikan Meliana sebagai korban terakhir Pasal 156 dan 156-a KUHP. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus menghapus dua pasal tersebut dari Rancangan KUHP. Kedua pasal itu jelas menghambat kebebasan berekspresi. Selama masih ada aturan karet ini, kaum minoritas mudah disudutkan, bahkan dijebloskan ke penjara seperti yang dialami Meliana.