Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemberian akses data kependudukan kepada swasta perlu dilakukan secara cermat dan terbatas. Menteri, gubernur, dan bupati sebagai pemberi izin akses di level masing-masing harus mengawasi dengan ketat setiap pemanfaatan data-data kependudukan. Jangan sampai pemberian akses itu bermuara ke penyalahgunaan data penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Urusan perlindungan data pribadi itu menjadi sorotan setelah dua perusahaan pembiayaan Grup Astra, PT Astra Multi Finance (AMF) dan PT Federal International Finance (FIF), mendapat akses membuka data kependudukan. Izin ini diberikan oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Kedua perusahaan itu memerlukan data kependudukan demi menunjang bisnis mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ombudsman RI sempat mempertanyakan pemberian akses data penduduk ke swasta tersebut. Tapi, menurut Kementerian Dalam Negeri, kebijakan itu diperbolehkan oleh Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Intinya, lembaga di luar pemerintah bisa mengakses data kependudukan dengan seizin pejabat yang berwenang.
Sejauh ini, Kementerian Dalam Negeri telah memberikan akses data kependudukan kepada 1.227 lembaga, terdiri atas lembaga perbankan, perusahaan bursa efek, perusahaan asuransi, dan perguruan tinggi. Mereka mendapat akses terbatas. Hanya instansi penegak hukum yang memperoleh akses penuh sampai ke foto dan tanda tangan.
Menutup data kependudukan hanya untuk negara memang mustahil dilakukan. Data itu juga sangat dibutuhkan oleh pihak swasta. Perbankan dan telekomunikasi, misalnya, sangat membutuhkan untuk registrasi pelanggannya. Lembaga pembiayaan pun butuh verifikasi nomor kependudukan, alamat, dan data lainnya yang ada pada KTP.
Hanya, pemerintah harus mengawasi dan mengaudit pemberian akses data kependudukan itu. Izin yang diberikan pun harus terbatas, demi memperkecil kemungkinan penyalahgunaan. Pihak swasta semestinya tidak boleh mendapat data kependudukan secara lengkap, misalnya nama, tanggal lahir, nomor kependudukan, nama ayah atau ibu kandung, golongan darah, dan seterusnya.
Di tangan orang jahat, data kependudukan yang lengkap bisa digunakan untuk melakukan penipuan. Keluhan yang paling umum adalah penyalahgunaan data untuk menawarkan produk bisnis secara berlebihan. Misalnya pemilik data tiba-tiba ditelepon atau didatangi seorang agen pemasaran kartu kredit.
Undang-Undang Administrasi Kependudukan sebetulnya mewajibkan negara melindungi data seperti nomor induk kependudukan, nomor kartu keluarga, tanggal lahir, serta nomor induk kependudukan ibu kandung dan ayah. Masalahnya, undang-undang ini juga memungkinkan penggunaan data di luar kepentingan pemerintah.
Kelonggaran itu harus dijalankan dengan hati-hati. Pemberian akses data kependudukan perlu diawasi secara ketat. Pemerintah juga harus memastikan pihak swasta tidak menyebarkan atau menyalahgunakan data kependudukan itu.