Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Arifin Mochtar*
SEPERTI galibnya, menghalangi perbuatan munkar selalu lebih sulit daripada menyerukan perbuatan baik. Upaya menindak koruptor menyimpan potensi perlawanan. Adapun mencegah korupsi jauh lebih mudah karena umumnya tanpa serangan balik.
Menindak koruptor yang memiliki kekuasaan tentu lebih sulit lagi. Sejarah mencatat, penindakan terhadap pemilik kekuasaan, semisal anggota parlemen, presiden, tentara, atau polisi, sering melahirkan konflik terbuka. Apa yang terjadi di Hong Kong pada 1974 memberi contoh gamblang tentang penindakan yang dilakukan lembaga antikorupsi negara itu (ICAC) dibalas demo besar dan tentangan keras dari polisi. ICAC diperangi sebagai musuh bersama para koruptor.
Di Nigeria, Nuhu Ribadu, seorang polisi dengan karier jempolan, sukses memimpin Economic and Financial Crimes Commission sejak 2003. Ia menolak pelbagai sogokan, bahkan menjadikannya sebagai pintu masuk untuk membongkar skandal yang lebih besar. Tapi, ketika mengusut kasus korupsi seorang politikus senior, ia terlempar dari jabatannya: dituduh melakukan pelbagai kejahatan, termasuk upaya pembunuhan. Pada 2009, untuk menghindari kriminalisasi, Nuhu Ribadu terpaksa "mengungsi" ke Inggris.
Tak perlu analisis yang luar biasa untuk mencari kesamaan Hong Kong, Nigeria, dan Indonesia hari ini. Saat ini kita melihat oknum polisi yang dikejar karena kasus korupsi menyerang balik Komisi Pemberantasan Korupsi dengan "meminjam" kewenangan institusional kepolisian.
Salah satu penyebab mudahnya KPK diserang adalah karena perlindungan terhadap lembaga dan pekerja antikorupsi yang minim. Undang-undang memang memberikan kewenangan luar biasa kepada KPK untuk menindak koruptor. Tapi lembaga itu tak dibekali sistem pertahanan diri yang kuat terhadap serangan balik.
Upaya membangun model perlindungan bukan tak pernah dipikirkan. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan korupsi (UNCAC) menyebutkan pentingnya perlindungan semacam itu. Meski tidak secara langsung menyebutkan imunitas kelembagaan, UNCAC jelas mencatat adanya kemungkinan kriminalisasi dan gangguan terhadap pemberantas korupsi. Pada November 2012, dalam pertemuan komisioner dan mantan komisioner komisi antikorupsi sejumlah negara, lahirlah "Jakarta Statement". Salah satu rekomendasi Pernyataan Jakarta adalah tentang perlunya lembaga-lembaga antikorupsi menerapkan prinsip imunitas terhadap pemimpin dan pekerja mereka. Intinya, diperlukan langkah cepat untuk melindungi para komisioner dan pekerja dari kemungkinan melakukan tindakan pidana dan perdata dalam lingkup pekerjaannya.
Perlindungan serupa sebenarnya sudah diberikan kepada beberapa lembaga negara, semisal Ombudsman. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menggariskan bahwa "dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan". Hal ini merupakan bentuk perlindungan terhadap komisioner Ombudsman yang dalam bekerja sangat mungkin berhadapan dengan kekuasaan. Undang-Undang Lingkungan Hidup, contoh lain, juga menjamin pekerja lingkungan untuk tak digugat asalkan menyangkut pekerjaannya. Para anggota parlemen juga diberi imunitas atas pekerjaannya sehingga tak dapat dituntut secara pidana dan perdata.
Sikap yang sama ditunjukkan dengan berbagai aturan lembaga pemberantasan korupsi di sejumlah negara yang membangun prinsip-prinsip perlindungan tersebut di undang-undang tiap negara. Artinya, secara ide dan konsepsi, tak ada yang ragu terhadap gagasan ini.
Persoalan tinggal dua hal. Pertama, sejauh mana perlindungan tersebut dapat diberikan. Kedua, dengan cara apa perlindungan dilakukan.
Terhadap pertanyaan pertama, tak ada jawaban sederhana. Imunitas yang terlalu jauh akan mudah bergeser menjadi impunitas—pengampunan terhadap orang yang sudah dinyatakan bersalah, sesuatu yang diharamkan dalam doktrin penegakan hukum yang berkeadilan. Mencari rumusan pas dan terbatas itulah yang membutuhkan pendalaman dan pengayaan wacana.
Terhadap pertanyaan kedua, yang paling ideal adalah melalui perubahan Undang-Undang KPK. Tapi perubahan undang-undang memerlukan waktu lama. Untuk jangka pendek, penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dianggap lebih masuk akal.
Melalui perpu, banyak waktu bisa dihemat. Kriminalisasi yang kini tengah terjadi terhadap komisioner KPK bisa dicegah. Prinsip kolektif kolegial pimpinan KPK bisa dipertahankan—sesuatu yang sulit terjadi jika semua pemimpin Komisi berstatus tersangka. Perpu adalah jalan cepat untuk mengagregasi imunitas KPK agar tidak dengan mudah dikriminalisasi.
Persoalannya, hingga kini, Presiden belum menunjukkan gelagat akan melindungi KPK. Alih-alih menggunakan hak prerogatif mengeluarkan perpu perlindungan KPK, Presiden malah membiarkan pidatonya agar para penegak hukum tidak saling mengkriminalisasi tak dipatuhi. "Pembangkangan" ini, sayangnya, terkesan dibiarkan oleh Presiden.
Sulit untuk tak menduga Presiden belum sepenuh hati mendukung pemberantasan korupsi. Padahal, dalam kampanyenya, Presiden menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi harus dilindungi dan dijaga sebagai lembaga yang independen dan bebas dari pengaruh kekuatan politik.
Independensi KPK harus didorong melalui langkah-langkah hukumnya yang profesional, kredibel, transparan, dan akuntabel. Di tengah situasi genting inilah kita menunggu Presiden membuktikan janji kampanyenya.l
Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo