Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
MEMANJAT MENUJU 6,9 DETIK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebuah film berlatar belakang olah raga panjat tebing yang juga berkisah tentang keluarga sang atlit.
***
6,9 DETIK
Sutradara : Lola Amaria
Skenario : Sinar Ayu Massie
Pemain : Aries Susanti Rahayu, Ariyo Wahab, Maryam Supraba, Rangga Djoned
Produksi : Lola Amaria Production dan Federasi Panjat Tebing Indonesia
***
Indonesia memiliki The Spiderwoman.
Dia adalah Aries Susanti Rahayu, atlit panjat tebing yang berhasil meraih medali emas pada Asean Games tahun lalu. Dan bayangkan jika atlit ini kemudian didaulat sutradara Lola Amaria untuk memerankan diri sendiri dalam sebuah film layar lebar—bukan film dokumenter—berjudul “6,9 Detik”
Ini tidak main-main. Ini “sesuatu yang lebih sulit daripada memanjat dinding,” demikian kata Aries Susanti kepada Tempo menjelaskan bagaimana dia harus belajar seni peran meski ia memerankan dirinya sendiri.
Syahdan sutradara Lola Amaria mengaku ditawarkan pihak FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia) untuk membuat film tentang Aries Susanti sekaligus memperkenalkan olahraga ini kepada masyarakat. Lola mengatakan dia melakukan riset dulu karena bagaimanapun sebuah film cerita membutuhkan drama.
“Ternyata kehidupan Aries sejak kecil menarik, bandel, tomboy, penuh pergolakan batin karena jauh dari Ibunya yang bekerja sebagai TKW,” kata Lola yang tertarik menyorot kehidupan Aries sebagai si noni kecil yang keras kepala dan berhati teguh tumbuh menjadi seorang perempuan yang tangguh.
Aries, lahir dan tumbuh di desa Taruman, Grobogan, Jawa Tengah sebagaimana anak-anak desa lainnya: bersekolah, bermain, meski sesekali dia lebih suka disebut “anak lelaki” karena dia memang sangat gesit berlari dan permainan gundu atau memanjat tampak lebih bergelora baginya. Gesitnya si kecil Aries (diperankan Kayla Ardianto yang lincah dengan sepasang mata yang berkilat) yang senang menyanyi “Cicak di Dinding” mencuri perhatian guru sekolahnya. Dia dicalonkan ikut lomba lari yang tentu saja kemudian dimenangkan.
Dari mulut ke mulut, dari desa ke desa, nama Aries kemudian akhirnya tiba di telinga seorang pelatih panjat tebing Ari Mulyanto (Rangga Djoned) agar ikut berlatih dengan rutin agar bisa masuk ke Pelatda. Aries menerima tantangan itu. Mulai terasa tantangan, mulai terasa hadangan. Memanjat tebing (buatan) sebagai olahraga bukan seperti memanjat pohon di mana dia bisa seenaknya dan tak ada aturan dan perhitungan kecepatan bergerak.
Tetapi Aries sejak kecil mengaku “aku tak suka kalah”, sehingga masa remaja maupun dewasa, dia tak ingin dikalahkan maka dia selalu terpacu adrenalin.
Tetapi ada lagi ‘adrenalin’ lain: sang Ibu. Dia tak berada di sisinya karena bekerja sebagai Tenaga Kerja di negara seberang (yang sungguh jauh nun di sana hingga mereka hanya sesekali berhubungan melalui telpon jarak jauh. Kesulitan untuk bisa mengadu atau menyenderkan kepala ke dada ibunya itu membuat Aries menjadi pahit. Aries menatap air di dalam gentong dengan memanggil ibunya –sesuatu yang diajarkan Ibunya jika ia sedang rindu—meski ia tahu Ibunya akan sulit menjawab dalam sekejap.
Justru dunia batin Aries inilah yang dikembangkan oleh sutradara Lola Amaria—dan bagian terbaik—karena film ini tak hanya memperlihatkan Aries sebagai pahlawan Indonesia, tetapi sebagai seorang anak perempuan yang merindukan ibunya. Ada saat-saat Aries, sebegitu frustrasi dan kesepian, sempat menyentuh kehidupan ‘bandel’: minum, mabuk, muntah, sementara dia adalah seorang atlet yang diharapkan. Aries sebagai manusia adalah bagian-bagian yang justru menarik dari film ini.
Tentu saja bagian perjalanan Aries dari kecil hingga digembleng oleh Coach Hendra (Ariyo Wahab) yang galak itu. Dia menantang Aries untuk memecahkan rekor 6.9 Detik –yang sekarang masih menjadi cita-cita. Tetapi dalam 7,51 detik, Aries tetap memberikan medali emas untuk Indonesia. Ini sebuah catatan bagus. Namun sisi manusiawi seorang protagonis adalah bagian yang menjadikan film ini adalah film “cerita” menarik, dan bukan sebuah karya jurnalistik atau dokudrama.
Leila S.Chudori