Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Remon Samora
Analis Bank Indonesia Provinsi Papua Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Polemik teknologi finansial (tekfin) ilegal bisa diibaratkan bak cendawan pada musim hujan. Ada pula yang menganalogikannya "mati satu tumbuh seribu". Ia memang akan selalu bertumbuh subur, meskipun terus diberantas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Buktinya, Satuan Tugas Waspada Investasi mengumumkan telah memblokir 297 pemain tekfin ilegal sepanjang Oktober 2019. Apabila diakumulasi sejak 2018, total ada 1.773 pemain tekfin ilegal yang telah diblokir. Angka tersebut setara dengan 13 kali lipat jumlah pemain tekfin legal. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat 13 tekfin berizin dan 114 tekfin terdaftar per September 2019.
Langkah pemberantasan tekfin ilegal memang telah menjadi diskursus hangat sejak setahun lalu. Belum adanya ramuan mujarab untuk menjerat para pelaku ditengarai sebagai salah satu pemicunya. Apalagi penindakan yang selama ini berlangsung terkesan seperti bermain kucing-kucingan. Tatkala satu aplikasi atau situs pinjaman online ditutup, media serupa dengan nama berbeda akan muncul kembali dengan oknum yang sama.
Sejumlah persoalan yang mengancam nasabah terbungkus rapi dibalut oleh kemudahan tekfin ilegal memberi pinjaman. Maraknya kasus penyalahgunaan data nasabah, cara penagihan tidak beretika, dan tingginya suku bunga pinjaman merupakan sebagian contoh kecil masalah. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat ada 4.500 aduan terkait dengan permasalahan ini per Juni 2019.
Kehadiran tekfin ilegal nyatanya turut berimplikasi negatif terhadap industri pinjaman online. Reputasi positif yang dibangun asosiasi pemain tekfin bersama regulator sedang dipertaruhkan akibat ulah nakal oknum tersebut. Stigma negatif oleh sebagian masyarakat yang menjadi korban boleh jadi akan membebani industri ini dalam jangka panjang.
Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia turut menyumbang masalah dari sisi permintaan. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan menunjukkan indeks inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 67,8 persen. Sayangnya, hanya 29,6 persen masyarakat yang telah melek keuangan. Artinya, baru 29 dari 100 penduduk Indonesia yang memahami produk dan jasa keuangan dengan baik.
Kondisi tersebut bertambah pelik lantaran fenomena sosial yang sedang menjangkiti masyarakat modern. Misalnya, dorongan pencitraan diri di media sosial yang berujung pada gaya hidup konsumtif di atas kemampuan finansial. Tak mengherankan, hasrat "besar pasak daripada tiang" bertemu dengan literasi keuangan yang rendah akan menjerumuskan seseorang ke dalam perangkap tekfin ilegal.
Berangkat dari argumentasi di atas, sejatinya kehadiran undang-undang tentang tekfin menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 sebagai dasar hukum industri pinjaman online dinilai masih belum cukup kuat. Pasalnya, sanksi yang diatur dalam ketentuan ini hanya berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin. Padahal sanksi pidanalah yang diyakini akan mampu memberikan efek jera bagi pelaku.
Solusi lewat undang-undang memang terbilang efektif di atas kertas. Namun harus disadari pula bahwa produk hukum tersebut masih memerlukan jalan panjang sebelum diterbitkan. Praktis saat ini dibutuhkan sejumlah upaya konkret lain untuk membatasi-jikalau tidak bisa menutup-ruang gerak pemain tekfin ilegal. Ada sejumlah langkah yang perlu diambil.
Pertama, melarang perbankan memproses pembukaan rekening tekfin ilegal. Tanpa adanya saluran transfer uang, operasional tekfin ilegal akan terhenti dengan sendirinya. Namun bukan tekfin ilegal namanya jika tidak mampu mengakali cara ini. Penggunaan rekening pribadi bakal menjadi modus utama yang digunakan oleh pelaku. Pada titik inilah perbankan dituntut untuk meningkatkan proses know your customer (KYC) atas aktivitas nasabahnya.
Kedua, larangan yang sama seyogianya diamanatkan pula kepada penerbit uang elektronik bukan bank. Sudah menjadi rahasia umum bahwa uang elektronik merupakan sarana alternatif pengganti fungsi rekening tabungan bank. Apalagi proses KYC oleh penerbit uang elektronik bukan bank cenderung lebih longgar.
Dalam praktiknya, beberapa pemain tekfin ilegal sudah memanfaatkan media ini sebagai kamuflase. Karena itu, dibutuhkan sebuah basis data terintegrasi yang memudahkan perbankan dan penerbit uang elektronik bukan bank untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang patut dicurigai. Sinergi regulator dan aparat penegak hukum memegang peranan penting dalam menelusuri dan menyusun basis data tersebut.
Ketiga, edukasi konsumen menjadi kata kunci terakhir yang tidak boleh dilupakan. Pemerintah bersama lembaga otoritas lainnya secara berkala telah melakukan edukasi kepada masyarakat. Namun perlu ditekankan bahwa tugas ini bukan milik regulator semata. Pemain tekfin legal juga memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan hal serupa. Dengan edukasi yang intensif, pamor tekfin ilegal akan meredup secara otomatis.
Memberantas tekfin ilegal memang bukanlah perkara mudah. Tanpa ada langkah preventif yang terstruktur, sistematis, dan masif, tidak mengherankan bila pemain tekfin ilegal akan selalu satu langkah di depan.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja