Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko Cahyono
Peneliti di Sajogyo Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umpan-tarik buka-bukaan kepemilikan tanah hak guna usaha (HGU) menjadi gelombang wacana politik nasional setelah debat kedua calon presiden pada Februari lalu. Mengapa membuka data HGU itu penting? Ada tiga alasan mendasar: (1) sebagai pembongkar ketimpangan struktural agraria; (2) sebagai pembongkar "sulap regulasi" masalah agraria; (3) pemantik inspirasi dan efek domino informasi asimetris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu persoalan mendasar masalah agraria di Indonesia adalah ketimpangan struktural (kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, distribusi, dan akses) atas sumber-sumber agraria. Laporan Global Wealth yang dibuat Credit Suisse (2017) menempatkan Indonesia di peringkat ke-4 negara yang kesenjangan ekonominya paling timpang di dunia: 1 persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
Dalam empat dekade terakhir, rasio Gini kepemilikan lahan di Indonesia ada pada kisaran 0,50-0,72. Berdasarkan data terakhir Badan Pusat Statistik, pada 2013 rasio Gini itu mencapai 0,68. Artinya, 1 persen penduduk menguasai 68 persen lahan di Indonesia. Merujuk pada data TuK-Indonesia (2019), tak lebih dari 25 korporasi perkebunan sawit menguasai lebih dari 12,3 juta hektare lahan. Infid dan Oxfam (2017) menunjukkan, akibat ketimpangan ekstrem itu, empat orang terkaya di Indonesia setara dengan 100 juta warga miskin.
Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) (2018) menegaskan bahwa kuasa oligarki agraria dan sumber daya alam berkelindan dengan perilaku korup penguasa di pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan pemilihan kepala daerah.
Di tingkat tapak, penguasaan sumber agraria nasional yang korup itu kerap berlumur konflik, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, serta diikuti marginalisasi dan penyingkiran masyarakat adat dari ruang hidupnya (Catahu KPA, JATAM, 2018). Persoalan ketimpangan agraria ini tak hanya membahayakan kedaulatan ekonomi negara, tapi juga menjadi ancaman serius bagi keselamatan rakyat dan ruang hidupnya.
Jadi, membuka data HGU adalah awal membongkar akar ketimpangan struktural agraria. Keterbukaan ini juga akan membantu menganalisis akar masalah dari pemiskinan struktural rakyat yang berkaitan erat dengan penyempitan kepemilikan, penguasaan, dan akses atas tanah.
Keterbukaan HGU juga menjadi pemantik pentingnya membongkar persoalan bentang kompleks "sulap regulasi" persoalan agraria dan sumber daya alam. Rezim perizinan atas tanah dan sumber agraria telah lama tersandera oleh kekuatan-kekuatan di luar negara. Mereka menguasai kekayaan sumber daya alam nasional dengan memproduksi pseudo-legal sehingga di permukaan tampak sah dan legal.
Korporasi besar di perkebunan, pertambangan, dan kehutanan, misalnya, dengan mudah menyodorkan beragam dokumen legal mereka, seperti analisis mengenai dampak lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis. Namun, di balik legalitas itu, mereka kerap mengabaikan legitimasi dan aspek keadilan (sosial-ekologi) bagi masyarakat lokal/adat/tempatan. Praktik inilah yang disebut legal non-legitimated (Kartodihardjo, 2017).
Keterbukaan HGU akan dapat membantu membongkar sumbu masalah "sulap regulasi". Ia akan membantu memetakan tipologi regulasi dan kebijakan yang harus dicabut, direvisi, atau cukup diharmoniskan. Rintisan hasil kajian Tim Harmonisasi Kebijakan dan Regulasi KPK-GNPSDA (2018) yang menembus belantara keruwetan undang-undang sektoral di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat menjadi pijakan awal. Tim itu telah menguji 26 undang-undang dengan beragam topik, dari agraria, lingkungan hidup, hingga pertambangan dan kelautan.
Merujuk pada Josept E. Stiglitz (2001), salah satu jalan penciptaan ketimpangan ekonomi global dari negara maju ke negara berkembang adalah melalui informasi asimetris. Ini keadaan patologis karena dari sinilah berbagai jenis risiko kejahatan dan ketidakadilan, seperti korupsi, monopoli, oligopoli, dan hegemoni, bisa diciptakan oleh kelompok pemegang otoritas informasi.
Keterbukaan HGU akan menjadi pendorong keterbukaan informasi yang lebih luas. Tak semata di sektor pertanahan, ia juga dapat menjadi pintu pembuka, inspirasi, dan memiliki efek domino bagi semua upaya masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Terbitnya pelbagai dasar hukum tentang keterbukaan informasi pasca-reformasi semestinya menjadi tonggak penting bagi masyarakat agar lebih berani menuntut semua pemegang otoritas informasi, khususnya pemerintah, untuk menjelaskan mana yang boleh dan tidak boleh serta argumennya. Apalagi beberapa pakar hukum berpendapat bahwa HGU bukanlah dokumen rahasia negara. Argumen bahwa menutupinya demi melindungi ekonomi nasional, apalagi atas dasar sektor tertentu, seperti perkebunan sawit, menunjukkan bukti kuasa kuat oligarki sektoral ini telah menekan dan menggurita dalam kebijakan politik negara.
Membuka data HGU barangkali seperti membuka kotak Pandora yang akan membongkar aneka persoalan di dalamnya. Ia bukan cuma mengungkap peta pemilik lahan, tapi juga mengganggu tatanan status quo gurita oligarki agraria dan sumber daya alam yang lebih luas. Syarat wajib perbaikan dan perubahan mendasarnya adalah keberanian dan kenekatan untuk melawan mafia dan oligarki. Tak ada pilihan lain.