Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Memilih Secara Rasional

Hari ini pemilihan kepala daerah digelar serentak di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.

28 Juni 2018 | 16.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari ini pemilihan kepala daerah digelar serentak di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Masyarakat diharapkan menggunakan hak pilihnya secara cerdas sekaligus ikut mengawasi proses demokrasi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita bisa belajar dari pilkada sebelumnya dalam memilih pemimpin daerah. Pemilihan langsung kepala daerah yang dimulai sejak awal era reformasi semestinya menghasilkan kualitas pemimpin yang semakin bagus. Tapi nyatanya banyak sekali gubernur, bupati, dan wali kota yang tidak berintegritas dan terjerat kasus korupsi. Biaya politik yang mahal dalam mengikuti pilkada justru dijadikan alasan pembenar untuk melakukan kejahatan keji itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masyarakat harus memanfaatkan pilkada kali ini untuk memilih pemimpin yang bersih dan memiliki komitmen kuat memajukan daerah. Pemilih perlu menelisik rekam jejak kandidat secara saksama. Akal sehat semestinya digunakan dalam menentukan pilihan. Masyarakat diharapkan pula tidak gampang terpancing oleh isu-isu menyesatkan yang banyak beredar di media sosial.

Kita perlu memetik pelajaran dari pilkada DKI Jakarta yang diwarnai sentimen agama. Permainan "politik identitas" seperti ini amat berbahaya dan hanya akan menimbulkan perpecahan masyarakat. Sejumlah daerah yang menggelar pilkada kali ini juga amat rawan mengalami perpecahan serupa gara-gara sentimen agama yang sering kali menyatu dengan sentimen kesukuan.

Harus diakui, amat sulit melepaskan diri dari identitas seperti agama dan suku yang melekat pada pemilih. Tapi masyarakat semestinya bisa mengurangi faktor itu dalam menentukan pemimpin. Percuma saja memilih pemimpin yang satu identitas jika ia tak mampu memajukan daerah dan memberikan layanan terbaik bagi warganya.

Masyarakat juga berhak mendapat pemimpin yang sesuai dengan kepentingan daerahnya tanpa harus dikaitkan dengan percaturan politik nasional. Pemilih bisa mengabaikan "permainan politik" yang berupaya mengaitkan pilkada dengan pertarungan pemilihan presiden tahun depan. Dua hal itu tak harus dikaitkan, karena peta politik nasional jelas berbeda dengan peta politik tiap daerah.

Tak hanya menggunakan hak pilihnya secara cerdas, masyarakat pun perlu ikut mengawasi pilkada. Praktik politik uang sering dilakukan pada detik-detik menjelang pencoblosan. Kecurangan juga sering terjadi dalam penghitungan suara. Tim pendukung calon kepala daerah semestinya menghindari praktik kotor ini demi meningkatkan kualitas demokrasi.

Badan Pengawas Pemilu Daerah dan Komisi Pemilihan Umum Daerah harus memastikan proses pilkada berjalan jujur dan adil. Aturan main mesti ditegakkan tanpa pandang bulu. Mutu pilkada akan semakin bagus jika semakin bersih dari kecurangan. Kualitas demokrasi pun akan meningkat jika masyarakat semakin rasional dalam memilih pemimpin daerah.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus