Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah saatnya Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmen serius memerangi korupsi. Ia harus segera mengganti sejumlah menteri yang terseret kasus rasuah yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Menunggu mereka berstatus tersangka hanya akan memperlihatkan ketidakpedulian Jokowi terhadap perilaku dan integritas menterinya.
Agenda membersihkan kabinet bahkan jauh lebih mendesak dibanding urusan lain seperti pemindahan ibu kota, yang amat tidak realistis. Soal ini juga lebih penting diselesaikan ketimbang urusan memantau ucapan kubu yang kecewa terhadap hasil pemilihan umum. Jokowi, yang hampir dipastikan memenangi pemilihan presiden 2019, bahkan bisa memanfaatkan “bersih-bersih kabinet” itu sebagai pemanasan untuk menyusun kabinet periode kedua.
Setidaknya ada tiga menteri yang kini berada di pusaran kasus korupsi. Mereka adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, serta Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Ruang kerja ketiga menteri itu sudah digeledah penyidik komisi antikorupsi. Peran mereka pun cukup gamblang. Menteri Nahrawi, misalnya, diduga mengetahui korupsi dana hibah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia. Jaksa KPK bahkan menyebutkan politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini terlibat permufakatan jahat yang memungkinkan korupsi itu terjadi.
Menteri Lukman Hakim, yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan, pun sulit untuk tidak ikut bertanggung jawab atas kasus jual-beli jabatan di kementeriannya. Kuat diduga ia telah memperdagangkan wewenangnya sebagai pejabat negara. Kasus suap pengangkatan sejumlah pejabat kantor wilayah ini melibatkan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Praktik tak elok pun diduga dilakukan Menteri Enggartiasto. Tokoh dari Partai NasDem ini dituding menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berkaitan dengan kebijakan gula rafinasi.
Presiden Jokowi semestinya bersikap tegas: meminta menteri yang tidak bersih itu mundur atau langsung menggantinya. Ia tidak perlu rikuh terhadap partai politik pengusung menteri-menteri tersebut. Kalangan partai politik seharusnya menyetop praktik kotor yang selama ini terjadi: memanfaatkan jatah kursi di kabinet untuk mengeruk duit haram. Sebelumnya bahkan sudah ada anggota kabinet Jokowi yang masuk bui: Menteri Sosial Idrus Marham, yang berasal dari Golkar. Ia mundur dari kabinet setelah ditetapkan sebagai tersangka suap proyek korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 pada Agustus tahun lalu.
Harus diakui, praktik bagi-bagi kursi menteri buat partai politik sulit dihindari dalam sistem politik kita sekarang. Realitasnya, partai-partai berperan mengusung dan memenangkan presiden dalam pemilu. Masuknya wakil partai ke kabinet juga bisa membikin pemerintahan lebih stabil karena akan terjadi komunikasi yang baik dengan parlemen. Hanya, dampak buruk dari bagi-bagi kursi menteri perlu ditekan. Presiden harus meminta partai politik menyodorkan calon menteri yang cakap dan berintegritas untuk kabinet mendatang.
Undang-Undang tentang Kementerian Negara pun memberikan kelonggaran bagi presiden dalam memilih menteri. Itu sebabnya, presiden bisa menentukan pola seleksi sendiri, seperti yang dilakukan Jokowi saat menyusun kabinet pada 2014. Ia melibatkan KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dalam proses awal penyaringan calon menteri.
Pola itu patut dipertahankan demi mendapatkan calon menteri yang bersih, baik dari kalangan partai politik maupun profesional. Hanya, proses pengecekan rekam jejak ini tak boleh cuma basa-basi. Jokowi harus benar-benar memperhatikan rekomendasi kedua lembaga itu. Tanpa kabinet yang bersih, Jokowi akan kesulitan memerangi korupsi, seperti yang dia janjikan dalam kampanye pemilu. Padahal kejahatan keji ini terus menggerogoti hampir semua sendi negara.
Kita tidak bisa membanggakan kenaikan skor negara ini dalam Indeks Persepsi Korupsi 2018 yang dikeluarkan Transparency International. Dari skala 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih), Indonesia baru mencapai angka 38, hanya naik satu poin dibanding tahun sebelumnya. Singapura, misalnya, sudah mencapai skor 85, sedangkan Brunei telah meraih angka 63. Kenaikan tipis skor negara kita pun lebih disebabkan oleh faktor kemudahan investasi, bukan karena menurunnya korupsi dalam sistem politik dan pemerintahan.
Pemerintah tidak bisa membebankan urusan mencegah dan memerangi korupsi hanya kepada KPK, yang kini justru kerap diusik, bahkan dilemahkan. Presiden Jokowi harus mengambil peran sentral. Hal ini bisa dimulai dengan cara memilih figur-figur yang cakap dan benar-benar bersih untuk mengisi kabinet periode mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo