Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hipolitus Y.R. Wangge
Peneliti Marthinus Academy Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kekerasan yang melahirkan konflik berkepanjangan di tanah Papua merupakan batu sandungan bagi setiap pemerintahan di negara ini. Setelah menjadi bagian dari Indonesia pada 1969, Papua dengan segala permasalahannya masih menjadi pekerjaan rumah yang seolah-olah tidak pernah terselesaikan. Kekerasan, konflik, dan korban seakan-akan menjadi "siklus" tahunan yang terus bergulir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dua pendekatan utama terkait dengan siklus tersebut, yakni keamanan dan kesejahteraan, ternyata tidak memberikan banyak dampak positif bagi penyelesaian konflik. Sejak era Orde Baru dengan sejumlah operasi militer hingga era otonomi khusus yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat, pemerintah ternyata juga belum mampu menghentikan lingkaran kekerasan itu.
Laporan majalah Tempo beberapa pekan lalu mencatat bahwa penggunaan senjata menjadi pemicu siklus kekerasan yang tidak berhenti. Pendekatan keamanan tersebut kontraproduktif. Penggunaan senjata oleh aparat keamanan justru memperkuat memori penderitaan kolektif di sana.
Memori penderitaan yang tidak disembuhkan itu adalah salah satu pemicu munculnya gerakan perlawanan. Memori ini menguat sejak dimulainya operasi militer di masa Orde Baru guna memberangus gerakan perlawanan di sana. Neles Tebay dalam Interfaith Endeavors for Peace in West Papua (2006) mencatat 12.397 orang asli Papua menjadi korban sederet operasi militer di Jayawijaya. Operasi-operasi militer tersebut tidak hanya menghasilkan pengungsi yang mencari perlindungan ke Papua Nugini selama 1984-1987, tapi juga gelombang besar masyarakat Papua yang terpaksa mencari tempat berlindung di wilayah Papua dan Papua Barat.
Kisah-kisah penderitaan yang menemani keseharian kehidupan masyarakat Papua kemudian memunculkan gerakan-gerakan perlawanan di sejumlah wilayah tersebut, seperti di Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Paniai, Mimika, dan Nduga. Pada 1996, penyanderaan sejumlah peneliti asing oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik di Distrik Mapenduma, Nduga, direspons dengan operasi militer yang juga mengakibatkan ratusan korban masyarakat sipil.
Selang 22 tahun kemudian, konflik bersenjata kembali terulang di Nduga. Pada Juni-Juli 2018, menjelang pemilihan Gubernur Papua, penembakan kelompok OPM juga direspons oleh aparat keamanan dengan melancarkan operasi gabungan di Distrik Kenyam. Puncaknya adalah penembakan 17 karyawan PT Istaka Karya pada Desember 2018 di Distrik Yigi oleh kelompok OPM.
Egianus merupakan putra asli Nduga yang juga menjadi korban operasi militer sejak ayahnya, Elmin Kogeya, terbunuh dalam operasi militer pada 1996. Egianus dan masyarakat di sebagian distrik di Nduga kemudian merekam cerita-cerita dan trauma penderitaan yang sedikit-banyak membentuk pola interaksi sosial mereka dengan para pendatang maupun aparat keamanan di sana.
Memori penderitaan ini diperkuat oleh ketiadaan negara dalam merespons nasib pengungsi Nduga di Lanny Jaya, Puncak Jaya, Asmat, Mimika, dan Jayawijaya. Di Wamena, terdapat sekitar 2.300 pengungsi. Sebanyak 700-an di antaranya adalah anak-anak usia sekolah. Hingga kini, belum ada pengakuan negara atas keberadaan mereka.
Konteks konflik ini belum diakomodasi dalam peraturan nasional mengenai penanganan pengungsi, yaitu Undang-Undang Penanganan Bencana Nasional dan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. Landasan keduanya dibangun di atas perspektif konflik horizontal antar-kelompok masyarakat, bukan konflik bersenjata yang bersifat asimetris. Hal ini berdampak terbatasnya akses kemanusiaan di daerah konflik, termasuk di Nduga.
Absennya pengakuan negara ini berakibat ketiadaan penanganan pasca-konflik (trauma-healing service) bagi pengungsi Nduga, khususnya anak-anak. Sejauh ini, satu-satunya prakarsa pemulihan trauma adalah dengan pelatihan dan pembuatan noken (tas tradisional Papua) sambil memberi kesempatan kepada anak-anak tersebut untuk bercerita mengenai pengalaman dan cita-cita mereka.
Tradisi bercerita sambil menganyam noken juga menjadi alternatif di tengah memori konflik sejak 1990-an. Dengan bercerita, anak-anak ini juga dapat diarahkan untuk terus melanjutkan pendidikan di daerah mereka. Memori kolektif kekerasan yang tidak disembuhkan dan ketiadaan pendidikan yang baik hanya akan memotivasi sebagian anak-anak Nduga untuk bergabung dengan gerilyawan OPM, seperti yang terjadi pada Egianus Kogeya, atau bergabung dengan kelompok-kelompok pemuda militan yang menyuarakan aspirasi kemerdekaan di jalan-jalan Papua.
Presiden terpilih diharapkan mampu memahami kompleksitas dan berani mengambil langkah yang terukur, seperti dialog, untuk menghentikan siklus kekerasan, konflik, dan korban di Nduga secara khusus dan di Papua secara umum. Dialog akan semakin mendorong partisipasi negara dan pihak yang bertikai untuk membantu menghilangkan trauma mendalam para pengungsi ini dan pada akhirnya mencegah munculnya gerakan-gerakan perlawanan baru di tanah Papua pada masa mendatang.