Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Memurnikan Keanggotaan DPD

Konflik antara calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Oesman Sapta Odang, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menarik perhatian publik.

9 November 2018 | 07.13 WIB

Petugas sedang melayani perwakilan dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI melaporkan harta kekayaannya, di ruang pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), gedung KPK, Jakarta, Rabu, 11 Juli 2018. Sebanyak 184 bakal calon Anggota DPD RI belum mengaktivasi e-LHKPN, sebagai syarat  untuk mendaftar di Komisi Pemilihan Umum. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Petugas sedang melayani perwakilan dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah RI melaporkan harta kekayaannya, di ruang pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), gedung KPK, Jakarta, Rabu, 11 Juli 2018. Sebanyak 184 bakal calon Anggota DPD RI belum mengaktivasi e-LHKPN, sebagai syarat untuk mendaftar di Komisi Pemilihan Umum. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Konflik antara calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Oesman Sapta Odang, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menarik perhatian publik. Konflik berawal ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Pasal 182 huruf I Undang-Undang Pemilihan Umum yang memuat syarat bagi calon anggota DPD yang tidak boleh memiliki "pekerjaan lain", Mahkamah menilai frasa "pekerjaan lain" harus dimaknai dengan mencakup pula pengurus partai politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Implikasi yuridisnya, KPU tidak meloloskan Oesman sebagai calon anggota DPD karena ia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Hanura. Oesman lalu mengajukan gugatan sengketa ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Ternyata, Bawaslu berpikiran sama dengan MK, bahwa pengurus partai politik tidak bisa mencalonkan diri menjadi anggota DPD karena DPD adalah lembaga yang anggotanya secara perseorangan mewakili kepentingan daerah. Ini perlu supaya tidak terjadi konflik kepentingan. Bahkan, akuntan, advokat, notaris, atau profesi lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas dan wewenang atau hak sebagai anggota DPD. Karena itu, gugatan Oso pun ditolak seluruhnya.

Kekalahan ini tidak menyurutkan semangat Oesman dan pengacaranya. Jalur hukum lain ditempuh, yakni permohonan uji materi Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD ke Mahkamah Agung. MA kemudian membatalkan peraturan KPU itu karena menilai peraturan tersebut berlaku surut, yakni putusan baru muncul setelah daftar calon sementara (DCS) dipublikasikan oleh KPU.

Putusan MA itu menjadi dilema bagi KPU. Bila KPU menindaklanjuti putusan tersebut dengan meloloskan Oesman sebagai calon anggota DPD, itu sama halnya KPU meniadakan putusan MK yang melarang pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD. Kita perlu melihat ini dari asal-usul kelahiran DPD.

"Kekuasaan itu mirip bejana berhubungan," kata profesor Aidul Fitriaciada, mantan Komisioner Komisi Yudisial. Artinya, bila suatu lembaga negara ditambahi kekuasaan, ia akan mengurangi kekuasaan lembaga negara yang lain. Sebelum perubahan UUD 1945, presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar, hampir tiga fungsi kekuasaan dalam suatu negara ada pada presiden: presiden membuat undang-undang dan melaksanakannya serta mempunyai sedikit kekuasaan yudikatif, selain sebagai panglima tertinggi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.

Perubahan UUD 1945 selama empat kali (1999-2002) telah menghadirkan lembaga negara baru, yaitu Komisi Yudisial, MK, DPD, dan pudarnya Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Harapan terbentuk lembaga baru itu supaya pemerintahan terselenggara secara harmonis, tanpa dominasi, dan checks and balances di antara lembaga negara terjadi dengan baik sehingga terhindar adanya superbody kelembagaan.

Kehadiran DPD, sebagai salah satu anak kandung perubahan konstitusi ketiga, sesungguhnya telah mereduksi eksistensi permusyawaratan perwakilan yang tertuang dalam sila keempat Pancasila. Permusyawaratan perwakilan, yang semula meliputi berbagai unsur yang ada di masyarakat Indonesia, kini tinggal wakil partai politik dan wakil daerah. DPD diharapkan mampu memperjuangkan kepentingan daerah yang diwakilinya. Selain itu, DPD merupakan institusi penyeimbang dalam badan perwakilan.

Dengan latar seperti itu, mudah-mudahan KPU mempunyai keberanian untuk bergeming atas putusan MA. Bagaimanapun, sejak awal DPD didesain sebagai lembaga yang mewakili kepentingan daerah. Untuk menjaga kemurnian kepentingan daerah itulah maka tidak ada tempatnya pengurus dan anggota partai politik menjadi anggota DPD. Bila anggota atau pengurus partai menjadi anggota DPD, hal itu berpotensi kelak anggota DPD dan anggota DPR menjadi tidak ada bedanya, keduanya dari partai politik. Hal ini yang ingin dihindari, baik oleh pembentuk undang-undang, MK, Bawaslu, maupun KPU, kecuali MA.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus