Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Senator Lucu

Para pengamat yang serius terheran-heran akan fenomena ini. Apa yang dilakukan oleh mereka itu setelah menjadi wakil rakyat?

3 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilu 2024 tinggal menunggu penghitungan suara secara manual oleh Komisi Pemilihan Umum. Batas waktu pengumumannya pada 20 Maret mendatang. Potensi keributan sudah pasti ada. Akan ada pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden yang tidak mengakui perolehan suara itu. Lalu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tanda-tanda itu sudah ada di berbagai daerah. Saksi paslon tidak menandatangani hasil rekapitulasi di tingkat kecamatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam setiap pemilu, ini hal yang biasa. Namun kali ini agaknya luar biasa. Ada berbagai kecurangan yang sistematis dari hulunya. Dan ketika sampai di hilir disambut oleh pengajuan hak angket. Kalau hak angket ini jadi, bertambah lagi hebohnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini adalah pemilu serentak. Ternyata dalam keserentakan itu ada bagian yang sama sekali tak tersentuh kehebohan, yakni pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah, wakil rakyat yang mengakomodasi kepentingan daerah. Tak ada hubungannya dengan partai politik. Setiap daerah setingkat provinsi mendapat wakil empat orang, betapa pun besar dan kecil jumlah penduduknya. Jumlah calon tidak dibatasi. Masyarakat yang memilihnya cukup mencoblos foto yang ada di kertas suara khusus pemilihan anggota DPD.

Banyak orang yang bingung siapa yang harus dicoblos. Calonnya hanya tertera nama dan foto. Itu pun dalam ukuran kecil karena kertas suara harus sama besarnya dengan kertas suara pemilu lainnya, sementara jumlah calon tak dibatasi. Karena itu, masuk akal calon anggota DPD wakil Jawa Barat, Alfiansyah Bustami alias Komeng, meraih suara tertinggi sampai di atas 1 juta pemilih. Foto yang dipasang Komeng unik, wajah yang dilucukan dengan mata melotot. Sedangkan foto calon lain formal.

Komeng bukan fenomena pertama. Di Bali, pada dua pemilu sebelum ini, pelawak dengan nama panggung Lolak (nama asli Made Arimbawa) juga terpilih sebagai anggota DPD dengan cara memasang foto unik itu. Nama dan wajahnya yang sudah dikenal mudah dilihat di kertas suara. Para pengamat yang serius terheran-heran akan fenomena ini. Apa yang dilakukan oleh mereka itu setelah menjadi wakil rakyat?

Contoh lain, Arya Wedakarna, anggota DPD dua periode wakil Bali. Dia begitu populer justru karena suka nyeleneh. Misalnya, mengaku menjadi Raja Majapahit Bali dengan gelar yang begitu panjang. Foto penobatannya sebagai raja, entah di mana dan siapa yang menobatkannya, dijadikan bahan kampanye. Pada periode pertama sebagai anggota DPD (2014-2019), perolehan suaranya lebih dari 100 ribu, dan pada periode kedua (2019-2024) di atas 700 ribu. Luar biasa.

Kini, pada Pemilu 2024, Arya diperkirakan lolos lagi sebagai anggota DPD. Suara yang diperolehnya masuk empat besar. Padahal Arya baru saja dipecat sebagai anggota DPD karena melanggar etika yang diputuskan Badan Kehormatan DPD. Keputusan presiden yang mengesahkan pemecatan itu sudah keluar pada 22 Februari lalu, dan Arya melawan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. KPU Bali memastikan Arya bisa dilantik kembali karena masalah etika bukan kasus pidana.

Apakah rugi lembaga terhormat seperti DPD diisi para komedian dan orang-orang kontroversial? Barangkali tidak juga. DPD adalah lembaga tinggi negara yang tidak jelas keberadaannya. Tidak bisa disamakan dengan senator yang ada di Amerika Serikat. Senator ala Indonesia ini disebut dalam UUD 1945 hasil amendemen ketiga dan sebagai alternatif baru bagi utusan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Wewenang dan tugas DPD dirinci dalam konstitusi sebagai penyalur aspirasi daerah, termasuk mempengaruhi kebijakan atau pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. Juga mengajukan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah. Tapi semua itu hampir tak pernah dikerjakan DPD. Di mana salahnya sehingga lembaga senator ini menjadi lucu dan benar-benar diisi oleh para pelawak? Sebaiknya ada diskusi serius untuk membedah kenapa para senator ini seperti ada dan tiada, meskipun tak ikut andil dalam kehebohan selama tahapan pemilu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus