Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah*
Saya memperhatikan bahwa pengguna bahasa Indonesia lebih rajin mencari padanan kata yang diambil dari kata Inggris daripada tetangganya. One stop, misalnya, diganti dengan istilah satu atap, bukan sehenti, sebagaimana diterakan oleh pengucap atau penulis Malaysia. Masalahnya, apakah penyerapan itu mempunyai akibat pada tindakan pelayanan? Saya punya pengalaman ketika anak saya baru lahir. Dengan sigap, saya membawa pelbagai dokumen untuk mendapatkan akta kelahiran anak saya di kantor catatan sipil negeri jiran. Karena sehenti, saya menyerahkan syarat-syarat di satu titik, lalu tak lama kemudian petugas memberi tahu sijil lahir telah selesai. Saya mengambilnya tanpa membayar.
Berbeda dengan perwakilan kita di sana. Saya harus menemui banyak orang, lalu saya menerima selembar akta tersebut dengan membayar 35 ringgit. Mengapa pelayanan ini tak prima seperti yang pertama? Sebab, ia hanya mengandaikan satu atap dan banyak meja. Teman Melayu saya pun berseloroh bahwa ternyata, untuk menjadi warga Republik, seseorang telah berkorban sejak bayi, membayar sejumlah uang, tidak cuma-cuma (baca: gratis) seperti di negeri jiran. Mungkin penyerapan konsep kata one stop itu dengan satu atap disengaja agar pelayanan terhadap masyarakat bisa diakali untuk mendapat keuntungan.
Menariknya, pengurus layanan ini bertempat di kantor dengan nama yang berbeda, yaitu Kantor Catatan Sipil dan Jabatan Pendaftar Negara. Tidak semestinya yang terakhir berupa kantor dengan bangunan megah, tapi boleh jadi hanya berupa rumah toko (ruko), yang telah tersambung secara talian (online) dengan kantor pusat. Secara otomatis, data warga telah disimpan di pusat data dan dengan sendirinya riwayat warga akan tercatat dengan rapi. Sedangkan di Republik, Catatan Sipil hanya gagah pada nama, tapi pelayanannya tak prima. Belum lagi negeri yang telah merdeka lebih tua daripada negeri jiran ini belum bisa menyimpan data warga secara daring, sehingga seorang warga bisa jadi mempunyai banyak kartu tanda pengenal.
Kata lain yang mungkin perlu diperhatikan adalah kegagapan kita menyerap kosakata baru, yang susah didapatkan padanannya, meskipun fungsi serupa bisa ditemukan. Kata locker, misalnya, diterjemahkan begitu panjang dalam kamus, lemari (sekolah), sementara dalam bahasa negeri jiran adalah peti penyimpan barang. Lalu mengapa kita tak menyebutnya loker saja agar kata ini tak menyandera kita dengan kerumitan? Bayangkan, di Universitas Sains Malaysia, tertulis tiga kata untuk menyebut locker. Anehnya, dalam jarak sepeminuman teh dari sini, tepatnya Universitas Utara Malaysia, kata loker menandai kotak tempat menyimpan barang di depan perpustakaan. Sekarang media juga lebih suka menyebut kata komedian ketimbang pelawak, mungkin karena kata komedian terdengar lebih keren. Padahal kata pelawak jauh lebih tepat.
Lalu bagaimana kalau kita menyebutnya peti? Dengan sebutan ini, kata tersebut memadai untuk mengandaikan tempat menyimpan barang, sebagaimana kata tersebut juga digunakan untuk menerjemahkan letter box dengan peti surat atau di sini kotak surat. Bagaimanapun, kita kadang terperangkap dengan kesan arkais apabila memanfaatkan kata lama untuk mengandaikan "barang baru", meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya baru, seperti kereta untuk car, sementara pada waktu yang sama di sini kita menggunakan mobil, tanpa harus menghapus kereta api menjadi mobil api, bukan? Sebagai pemakluman, kata kereta yang mengandaikan mobil diterakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tapi kita tidak lagi menggunakannya.
Tampaknya, penggunaan kata asing diutamakan dibandingkan dengan kata tempatan yang serupa karena berciri kekinian dan jauh lebih rumit. Sebenarnya kita tidak sedang mempersoalkan serbuan kata asing karena bahasa Indonesia juga kumpulan dari bahasa di seantero dunia, sebagaimana ditulis oleh James T. Colins dalam Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Betapa dalam pergiliran abad ke-16, ke-17, ke-18, ke-19 "ketidakberdayaan" bahasa Melayu terhadap masuknya bahasa Arab, Portugis, Belanda, dan Inggris, yang kemudian memperkaya kosakata, tapi pada waktu yang sama menyebabkan kosakata asal tidak digunakan atau tetap diterakan dengan tanda ark (baca: arkais).
Namun setidak-tidaknya kita tidak boleh membiarkan penggunaan kata Inggris tanpa disesuaikan dengan aturan penyerapan tata bahasa kita. Apabila seorang wartawan menulis listing terkait dengan saham, kita telah mengabaikan kata senarai. Sedangkan kata pendaftaran, yang mengandaikan makna serupa, telah dibatasi secara semantik terhadap proses pendataan diri seseorang untuk keperluan administratif. Lucunya lagi, di sebuah baliho di Kabupaten Pamekasan tertulis bahwa bupati akan launching program desa nelayan, yang sebenarnya kata ini sering diterjemahkan lancar (Malaysia) dan luncur (Indonesia). Padahal kata lancar juga digunakan di Madura, yang bermakna serupa dengan lancar dalam bahasa kedua serumpun.
Sejatinya, kadang tebersit dalam benak untuk memilih launching atau peluncuran, tapi tak terelakkan nuansa makna yang pertama dianggap jauh lebih gagah dibanding yang terakhir. Tak aneh jika orang lebih nyaman dengan serapan "luar" secara bulat-bulat. Tapi sampai kapan kita membiarkan kemalasan ini?
*) Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo